Oleh: Dr. Syamsul Yakin, MA
Dosen UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
”Ya Tuhan kami! Berilah kami kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat, serta hindarkanlah kami dari siksa neraka!”
(QS. al-Baqarah/2: 201)
Doa di atas disebut doa sapu jagat. Abduh Zulfidar Akaha dalam karyanya 165 Kebiasaan Nabi SAW, berpendapat bahwa dikatakan demikian karena doa ini paling ringkas, paling sering dibaca Nabi SAW. Termasuk doa yang sudah mencakup seluruh urusan baik jagat dunia dan jagat akhirat. Biasanya doa ini dibaca sebagai penutup segala doa baik yang panjang maupun pendek. Tak hanya itu, doa ini juga kerap dibaca pada saat jamaah haji atau umrah yang tengah thawaf mengelilingi Ka’bah sebanyak tujuh putaran. Secara historis memang doa ini terkait dengan pelaksanaan ibadah haji.
Pertanyaannya, adakah teladan dari Nabi SAW agar kita membaca doa ini? Bersumber dari Anas bin Malik, disebutkan bahwa: ”Doa yang paling banyak dibaca oleh Nabi SAW, yaitu: ”Allaahumma Aatinaa fid dunyaa hasanah, wa fil aakhirati hasanah, wa qinaa ’adzaaban naar” (HR Bukhari dan Muslim). Disebutkan dalam riwayat Muslim ditambah, ”Anas (bin Malik) sendiri jika hendak berdoa dengan suatu doa, dia bermohon dengan doa ini”. Masihkah kita sangsi untuk membaca doa ini? Untuk mengetahuinya lebih dalam mari kita telisik spektrum doa sapu jagat ini.
Ini adalah salah satu doa yang diawali dengan ”rabbana” yang dimuat dalam al-Qur’an dan diidentifikasi sebagai doa Nabi Muhammad SAW. Muhsin Labib dalam bukunya Kamus Doa mengatakan bahwa di antara tata-krama berdoa di dalam Islam, dianjurkan berdoa dengan menggunakan teks-teks yang termaktub di dalam al-Qur’an. Argumentasinya, kita ingin berkomunikasi dan mengungkapan keinginan kepada Allah SWT dengan menggunakan ungkapan yang Allah ajarkan di dalam al-Qur’an.
Dari delapan belas doa yang diawali dengan kata ”rabbana”, doa Nabi Muhammad SAW di atas, salah satunya. Ada juga doa Nabi Adam (QS al-A’raf/7: 23). Doa Nabi Ibrahim (QS al-Baqarah/2: 128; Ibrahim/14: 41; Mumtahanah/60: 4-5; al-Syu’ara/26: 83-87). Doa Nabi Isa (QS al-Maidah/7: 114). Doa Nabi Musa (QS al-Furqon/25: 74). Doa Nabi Yunus (QS Yunus/10: 85-86). Doa Nabi Sulaiman (QS al-Hasyr/59: 10). Kata ”rabbana” itu sendiri adalah kata seru sekaligus pujian yang berarti ”wahai Tuhan kami!”.
Dalam konteks sosio-historis, doa ini berkaitan dengan ibadah haji. Jalaluddin al-Suyuthi dalam Lubab al-Nuqul Fi Asbab al-Nuzul, menuliskan asbab turunnya ayat ini (QS. al-Baqarah/2: 201). Ibnu Abi Hatim meriwayatkan dari Ibnu Abbas, dai berkata. ”Sebagian orangArab dulu datang ke tempat ibadah haji, lalu mereka berdoa, ’Ya Allah jadikanlah tahun ini tahun hujan, tahun subur, dan tahun kebaikan’. Mereka sama sekali tidak menyebutkan tentang hari akhir. Artinya, yang mereka minta kepada Allah adalah urusan dunia saja.
Lalu Allah merespons mereka dengan menurunkan firman-Nya: ”Maka di antara manusia ada yang berdoa, ”Ya Tuhan kami, berilah kami(kebaikan) di dunia, dan di akhirat dia tidak memperoleh bagian apapun” (QS al-Baqarah/2: 200). Lalu datang setelah mereka orang-orang beriman yang berdoa, ”Dan di antara mereka ada yang berdoa, ’Ya Tuhan kami! Berilah kami kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat, serta hindarkanlah kami dari siksa neraka!” (QS. al-Baqarah/2: 201). Tampak jelas bahwa komunikasi doa kaum beriman sangat visioner. Mereka meminta dunia dan akhirat.
Apakah kebaikan di dunia itu? Syaikh Nawawi Banten dalam magnum opusnya, Tafsir Munir, berpendapat bahwa hal itu adalah ilmu, ibadah, terpelihara dari dosa-dosa, mati syahid, ghanimah (harta rampasan perang), kesehatan, kecukupan, dan taufik untuk kebaikan. Sedangkan Wahbah Zuhaili dalam judul tafsir yang sama, yakni Tafsir Munir, ”hasanah” adalah pertolongan, kesehatan, dan nikmat (atau rezeki). Bagi Sayyid Quthb dalam Tafsir Fi Zhilalil Qur’an, inlah contoh permohonan manusia yang ada pada setiap generasi dan semua tempat. Uniknya, saat menghadap Allah yang mereka mohon hanya dunia, tidak akhirat.
Lalu apa kebaikan akhirat itu? Syaikh Nawawi Banten katakan itu adalah surga dan kenikmatannya. Apakah surga itu? Surga itu tempat yang damai. Seperti firman Allah, ”Bagi mereka (disediakan) tempat yang damai (surga) di sisi Tuhannya” (QS al-An’am/6 :127). Pun dalam surat Yunus/10, ayat 25, ”Dan Allah menyeru (manusia) ke Darussalam (tempat kedamaian atau surga)”. Dikatakan tempat yang damai, karena seperti firman Allah, ”Di dalamnya mereka tidak mendengar perkataan yang tidak berguna, kecuali (ucapan) salam. Dan di dalamnya bagi mereka ada rezeki pagi dan petang” (QS Maryam/19 : 62).
Dalam hadits qudsi, disebutkan; ”Aku sediakan untuk hamba-hambaku yang shaleh sesuatu yang belum pernah dilihat oleh mata dan tidak pernah didengar oleh telinga serta tidak tebersit dalam hati manusia ….” (HR Muslim). Yang dimaksud dengan ”sesuatu” dalam hadits ini adalah surga. Pertanyaan selanjutnya adalah apakah surga itu materi ataukah immateri? Ulama seperti al-Ghazali berkeyakinan bahwa surga mencakup materi (jasadiyah) dan immateri (ruhaniyah) sekaligus. Sedangkan ulama lain seperti Ibnu Rusyd menyebut surga lebih sebagai sesuatu yang bersifat immateri, seperti hadits qudsi di atas.
Sedangkan argumen al-Ghazali yang bersifat fisikal di atas, didasari oleh kenyataan bahwa Allah dengan begitu mudah menciptakan jiwa dan raga. Bagi al-Ghazali, bukan hal yang sulit bagi Allah, setelah kiamat nanti, membangkitkan manusia baik secara fisikal (materi) maupun secara ruhaniah (jiwa/immateri). Bukankah dengan mudahnya pula Allah mengatakan: ”Segala sesuatu akan hancur kecuali Dia sendiri” (QS. al-Qashshash/28: 20).
Begitu pula dalam surat al-An’am/6 ayat 94: ”Dan sesungguhnya kamu datang kepada Kami sendiri-sendiri sebagaimana kamu Kami ciptakan pada mulanya”. Inilah paham ortodoksi al-Ghazali tentang doktrin eskatologi yang merambah dunia Islam yang nyaris berlaku secara baku, standar, dan bahkan final.
Lalu, apa argumentasi Ibnu Rusyd? Menurutnya, yang dibangkitkan kelak oleh Allah hanya jiwa atau bersifat spiritual karena penggambaran al-Qur’an tentang surga yang sangat bersifat fisikal hanya sekadar ilustrasi bagi orang awam. Tepatnya, agar dapat dimengerti secara rasional-argumentatif. Hanya saja tesis seperti ini, secara praksis, dalam dunia Islam tidak mampu menjadi arus utama. Alasannya, secara psiko-teologis, sifat manusia yang selalu mendambakan kebahagiaan dunia dan akhirat, lahir dan batin, fisikal dan spiritual, ternyata pendapat al-Ghazali lebih mendominasi.
Terlepas dari perbedaan pemikiran di atas, yang pasti setiap hari di ujung malam selepas tahajud, kita senantiasa mengakui bahwa surga itu benar adanya.
Inilah doa tahajud yang indah dan menggetarkan hati itu: “Ya Allah, bagi-Mu segala puji. Engkaulah penegak langit dan bumi dan alam semesta serta segala isinya. Bagi-Mulah segala puji. Engkau raja penguasa langit dan bumi. Bagi-Mulah segala puji, Pemancar cahaya langit dan bumi. Bagi-Mulah segala puji, Engkaulah yang hak, dan janji-Mu adalah benar, dan perjumpaan-Mu itu adalah hak. dan firman-Mu adalah benar, dan surga itu adalah hak, dan neraka adalah hak, dan nabi-nabi itu hak, dan Nabi Muhammad adalah benar, dan saat hari Kiamat itu benar”
“Ya Allah, kepada-Mulah kami berserah diri (bertawakal), kepada Engkau jualah kami kembali, dan kepada-Mulah kami rindu, dan kepada Engkaulah kami berhukum. Ampunilah kami atas kesalahan yang sudah kami lakukan dan kesalahan yang kemudian, baik yang kami sembunyikan maupun yang kami nyatakan. Engkaulah Tuhan yang terdahulu dan Tuhan yang terakhir. Tidak ada Tuhan melainkan Engkau dan tidak ada Tuhan selain Engkau. Tidak daya dan kekuatan melainkan dengan Allah.” Semoga doa yang kita panjatkan menghantarkan kita kepada kenikmatan surga, baik material maupun immaterial.
Kita juga berlindung kepada Allah SWT dari siksa neraka. Inilah doa pendek yang diajarkan Nabi SAW kepada kita. ”Apabila kamu selesai shalat subuh, becalah doa berikut sebelum kamu berbicara dengan orang lain: ’Allahumma aajirnii minan naar’ 7 kali. Jika pada hari itu kamu mati maka Allah akan menetapkan bahwa kamu jauh dari neraka. Jika kamu selesai shalat maghrib, ucapkanlah doa ini sebelum kamu berbicara dengan orang lain: ’Allahumma aajirnii minan naar’ 7 kali. Jika malam itu kamu mati, maka Allah tetapkan bahwa kamu jauh dari neraka.” (HR Ahmad, Abu Daud, Ibnu Hibban).
Termasuk doa berikut ini yang terurai begitu indahnya dalam al-Qur’an: “Ya Tuhan kami, jauhkan azab jahannam dari kami, sesungguh azabnya itu adalah kebinasaan yang kekal. Sesungguhnya jahannam itu seburuk-buruk tempat menetap dan tempat kediaman” (QS al-Furqon/25: 65-66). Selain berdoa adakah cari lain untuk menghindari jahannam? Tentu ada. Dari Abu Dzar ia berkata, Rasulullah SAW pernah bersabda kepadaku: “Bertakwalah kamu kepada Allah di mana saja kamu berada dan ikutilah setiap keburukan dengan kebaikan yang dapat menghapuskannya, serta pergauilah manusia dengan akhlak baik (HR. al-Tirmidzi).
Khusus untuk wanita yang Nabi SAW katakan sebagai penghuni neraka terbanyak, selain memperbanyak doa-doa di atas, ikutilah perintah Nabi dalam sabda beliau. Nabi SAW bersabda: “Wahai kaum wanita! Bersedekahlah kamu dan perbanyaklah istighfar. Karena, aku melihat kaum wanita yang paling banyak menjadi penghuni neraka” (HR Muslim). Siapapun kita, saatnya kita berpikir keras untuk membuat proyek untuk menyelamatkan diri kita dari azab dan sengsara baik dalam kehidupan kini di sini yang serba nisbi, maupun dalam kehidupan nanti di sana yang kekal abadi. Semoga!***
Editor: Nadia
Komentar