Oleh : Erdy Nasrul *
Akhir-akhir ini pembicaraan di media sosial menyentuh persoalan dakwah. Di antaranya adalah tentang perubahan kata dalam bahasa Arab atau tashrif. Pembicaraan ini muncul untuk merespons adanya seorang pendakwah yang tidak tepat mengubah kata Arab.
Sebelumnya juga ada pendakwah muda yang kurang tepat menafsirkan surah ad-Dhuha sehingga mendapatkan kritikan organisasi pelajar. Sang ustaz meminta maaf dan mengakui kekhilafannya.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Dua peristiwa ini menandakan dangkalnya pemahaman tentang Islam. Mereka memahami ajaran tersebut pada permukaan saja. Kurang mendalam.
Tren teknologi sekarang ini menjadikan banyak orang cepat belajar. Dengan mengakses portal informasi tentang Islam, seseorang sudah mendapatkan sekilas wawasan tentang ajaran tersebut. Bisa juga dilakukan dengan menonton video pendakwah yang tersebar di jagat maya. Terkesan mudah, seakan belajar Islam cukup secara daring
Ghirah keislaman mereka sangat besar. Namun, modal itu saja tak cukup. Harus ditambah dengan kesungguhan dalam menuntut ilmu seperti yang dilakukan para ulama dahulu. Mengaji tafsir misalkan, tidak cukup hanya dengan membuka terjemahan Alquran. Tak cukup sekadar nonton video penceramah.
Harus ada upaya membuka kitab-kitab ulama yang otoritatif. Ingin mengetahui tafsir misalkan, maka harus membuka kitab-kitab seperti Tafsir al-Maraghi, Tafsir Mishbah, dan Tafsir al-Azhar. Ingin memahami fikih, maka harus membuka Bidayatul Mujtahid karangan Ibnu Rusydi, al – Umm yang ditulis Imam Syafi’i, dan Fiqhus Sunnah yang disusun Sayyid Sabiq. Banyak lagi kitab-kitab lainnya yang menjelaskan khazanah keilmuan Islam secara mendalam.
Membaca kitab-kitab klasik seperti tadi mungkin bertentangan dengan gaya millenial sekarang ini yang mengutamakan praktis, simple, dan cepat. Namun mengupas pemikiran cendekiawan dunia tetap harus dilakukan dengan mendalam. Butuh waktu ekstra.
Karena dengan begitu, pemahaman akan lebih mendalam. Poin demi poin. Detil. Ketika pemahaman tadi dijadikan materi dakwah, maka isi pembicaraan akan mendalam, berbobot, dan tentu saja tidak ‘asal bunyi’.
Kitab klasik atau turos adalah buku-buku warisan ulama. Penyusunannya menghabiskan waktu panjang. Rujukannya adalah hasil pembelajaran sang alim kepada guru-gurunya dan juga berbagai referensi klasik. Ada juga yang ditambahkan dengan pengalaman personal dan spiritual, seperti al-Munqidz Minad Dhalal dan Ihya Ulumiddin karya Hujjatul Islam Imam al-Ghazali.
Ini merupakan kecanggihan ulama. Pengetahuan intuitif yang mereka dapatkan bisa menjadi asas pengetahuan yang mereka tulis dalam karya monumental. Sejak ratusan tahun lalu buku-buku tersebut tetap menjadi rujukan. Muslim membacanya sebagai rujukan ilmu akhlak, ekonomi, politik, tasawuf, teologi, tafsir, dan banyak lagi.
Karya mereka tidak hanya dibaca orang sekitarnya. Muslim di berbagai belahan dunia ikut mengkaji karangan mereka. Sebut saja //Asrarul Arifin// Hamzah Fanshuri, dibaca oleh Muslim di India, Mesir, dan lainnya. Orientalis seperti Gerardus Willebrordus Joannes Drewes juga ikut mengkajinya.
Ulama kita dahulu mengkaji Islam secara perlahan agar menghasilkan pemahaman yang komprehensif. Bahkan sebelum mempelajari kitab, mereka terlebih dahulu menyucikan diri dari hadas dan dosa. Hal itu dilakukan dengan berwudhu, mandi hadas, dan tobat. Tujuannya agar Allah mudah memberikan pemahaman ilmu pengetahuan. Dasarnya adalah perkataan Imam Syafi’i, bahwa ilmu adalah cahaya Allah yang tidak diturunkan kepada pendosa.
Tak hanya membaca, seseorang juga harus mempunyai guru agar tidak salah paham. Ketika mendapatkan permasalahan pelik, seseorang dapat mengadu kepada gurunya. Jadi tidak menafsirkan sendiri.
Di sini ada akhlak yang harus dijaga. Murid harus merendah diri di hadapan sang guru. Tak ada cerita seorang murid bersikap arogan, sok tahu, apalagi melawan guru. Kalau itu yang terjadi, maka berarti si murid telah menutup hatinya dan tak mau menerima ilmu. Allah tak akan memberikan cahayanya kepada orang-orang tadi.
Salah satu teladan murid adalah pendiri Nahdlatul Ulama (NU) KH Hasyim Asy’ari. Dia rela menyeburkan dirinya kedalam kubangan kotoran manusia demi mencari cincin istri gurunya saat menimba ilmu di Bangkalan. Luar biasa.
Setelah itu sang guru, Syaikhuna Kholil, begitu senang. KH Hasyim Asy’ari didoakan agar menjadi orang besar. KH Hasyim juga serius menimba ilmu pengetahuan, sehingga dia mendapatkan ridha sang guru.
Berbekal ridha tadi, sang alim mendapatkan cahaya ilahi. Dakwahnya berbobot, membangkitkan semangat perjuangan yang antipenjajahan. Namanya selalu dikenang sebagai sosok pendakwah penuh kearifan.
Saatnya kita kembali membaca turos, kitab jadul penuh hikmah. Juga menjaga akhlak terhadap guru yang mengajarkan ilmu, seperti yang dilakukan KH Hasyim Asy’ari.
Pembelajaran turos saat ini harus digalakkan kembali. Bisa melalui kajian yang komprehensif. Turos dikaji. Pemahamannya diperkaya dengan konteks kekinian, sehingga mudah diserap oleh generasi millenial. Insya Allah cara demikian akan menuntun kepada pemahaman Islam yang tidak asal-asalan.
(Penulis adalah Alumni Gontor dan Wartawan Republika)