Siarandepok.com – Penulis buku “Jejak Rasa Nusantara: Sejarah Makanan Indonesia” Fadly Rahman mengatakan, Sunan Kalijaga menjadikan ketupat sebagai budaya sekaligus filosofi Jawa yang berbaur dengan nilai-nilai ke-Islaman.
Ketupat atau disebut kupat oleh masyarakat Jawa dan Sunda, menurut Fadly, menyimbolkan dua hal, yakni ngaku lepat yang berarti mengakui kesalahan dan laku papat atau empat laku yang juga tercermin dari wujud empat sisi dari ketupat.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Menurut dia masing-masing sisi dari ketupat itu pun memiliki makna. Maka pertama adalah Lebaran (asal kata dasar lebar) yang berarti pintu ampun dibuka untuk orang lain.
“Kedua Luberan (asal kata dasar luber) yang bermakna melimpah dan memberi sedekah pada orang yang membutuhkan,” ucap Fadly.
Lalu ketiga, lanjut dia, adalah Leburan (asal kata dasar lebur) yang punya arti melebur dosa yang dilalui selama satu tahun. Terakhir adalah Laburan (kata lain kapur) yang bermakna menyucikan diri atau putih kembali layaknya bayi. Meski lekat dengan hari raya Idul Fitri, keberadaan ketupat sebenarnya sudah ada jauh sebelum masa penyebaran agama Islam di nusantara. Ini karena nyiur (daun kelapa yang merupakan bahan janur) dan beras sebagai sumber daya alam sudah dimanfaatkan sebagai makanan masyarakat nusantara di zaman Hindu Buddha.
Hal ini pun, menurut Fadly, bisa dilihat dari keberadaan ketupat di Bali yang digunakan dalam ritual ibadah. Orang Bali menyebut ketupat dengan sebutan tipat.
“Di Islam, ketupat dicocokkan lagi dengan nilai-nilai ke-Islaman oleh Sunan Kalijaga, membaurkan pengaruh Hindu pada nilai-nilai ke-Islaman, menjadi akulturasi yang padu antara keduanya,” tambah Fadly.
Sumber: KOMPAS.com