Oleh: Dr. Syamsul Yakin, MAPengasuh Pondok Pesantren Madinatul Qur’an Indonesia Kota Depok & Pengajar Pascasarjana FIDKOM UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Stigma tentang Islam dan kaum Muslim tiba-tiba mereda ketika sarjana Barat seperti John L. Esposito, Michael Fischer, Annemarie Schimmel, Murad Hofmann, Francis Robinson, Hastings, dan sederat akademisi lainnya melakukan kajian secara obyektif tentang ajaran Islam. Seolah mereka telah menemukan Islam, dan Islam ternyata adalah agama yang mengajarkan toleransi, keterbukaan, persamaan, musyawarah, damai, dan penuh santun.
Bahkan, pandangan seperti ini mencapai puncaknya ketika Gus Dur terpilih secara demokratis menjadi presiden pada 1999. Media massa Barat pada waktu itu sontak sepakat, di antaranya Herald Tribune, New York Time memberitakan kesuksesan Gus Dur itu sebagai respected Muslim leader whose message is tolerance, inclusion, and self-respected.
Masalahnya, benarkah saat ini pandangan Barat tentang Islam dan kaum Muslim benar-benar telah berubah? Negative image of Muslims in the West tidak dikenal lagi? Dan mengapakah mesti sarjana Barat seperti yang disebutkan di atas yang membeberkan bahwa Islam itu inklusif, bisa bekerjasama dengan nilai-nilai Barat, dan bukan bangsa tertinggal atau barbar?
Dalam konteks seperti inilah kita harus berani melakukan otokritik, merubah citra, dan kembali mempelajari Islam secara obyektif dan dengan mengambil manhaj secara go to the sources, yakni al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah. Terlalu sering kehebatan Islam dibuktikan secara mapan oleh mereka yang kita katakan Barat atau non-Muslim. Sedangkan kita sendiri, vis-à-vis ajaran Islam, lebih sering memelantingkan diri ke ranah yang asing.
Padahal sejak masa yang lama, kita senantiasa membaca, “Allah Maha Pengampun Lagi Maha Penyantun, (QS. al-Maidah/5:101). Dalam surat al-Baqarah/2 ayat 235, Juga bisa kita baca, “Ketahuilah bahwa Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyantun”. Dalam ayat lain, “Dan kalau sekiranya Allah menyiksa manusia karena usahanya, niscaya Dia tidak akan meninggalkan di atas permukaan bumi satu makhluk yang melata pun. Akan tetapi Allah menangguhkan (penyiksaan) mereka sampai waktu tertentu” (QS. Fathir/35: 45).
Termasuk, bersumber dari Abu Musa al-Asy’ari, Rasulullah saw bersabda, “Tidak ada seorang pun yang lebih sabar mendengar hinaan selain Allah. (Ketika) mereka menuduh Allah mempunyai anak, Dia tetap memaafkan dan memberi rizki kepada mereka” (HR. Bukhari).
Kata al-Halim, sebagai sifat yang merujuk kepada Allah atau yang diberikan kepada makhluk-Nya ditemukan dalam al-Qur’an sebanyak lima belas kali. Secara etimologi , kata ini bermakna dasar tidak bergegas, pemaaf, dan penyabar. Jadi, al-Halim dapat dilukiskan sebagai pribadi yang tidak tergesa-gesa dalam mengambil keputusan, jiwanya begitu kuat rasa sabar dan sayangnya kepada sesama sehingga ia tidak terpancing amarah ketika seseorang berlaku aniaya karena kebodohannya.
Hanya saja, seseorang tidak serta-merta dikatakan sebagai al-Halim karena ia memiliki kesabaran saja, lebih jauh ia pun harus bersedia menerima segala macam konsekuensinya.
Sedangkan al-Halim sebagai sifat yang melekat kepada Allah dapat dimaknai bahwa Allah adalah Zat Yang Maha Penyantun. Kesantunan Allah itu terletak pada kesabarannya ketika setiap hari makhluk-Nya berbuat ingkar, durhaka, tidak sungguh-sungguh taat, selalu berbuat zalim dan kerusakan di muka bumi, memperdaya makhluk-makhluk-Nya, termasuk berbuat aniaya terdadap diri sendiri. Allah tetap sayang kepada mereka. Allah sabar sehingga tidak serta-merta menimpakan azab kepada mereka. Allah memberikan kesempatan kepada mereka untuk menyadari semua perbuatan itu.
Termasuk, ketika mereka setiap hari membuat teror, memakan harta rakyat, dan tak jarang memakan harta anak-anak yatim. Inilah pernyataan Allah sebagai al-Halim, “Jika Dia menyiksa mereka karena perbuatan mereka, tentu Dia akan menyegerakan siksa bagi mereka” (QS. Shad/38: 16).
Dalam al-Qur’an, Allah menggelari Nabi Ibrahim sebagai pribadi yang al-Halim, yakni Allah katakan, “Maka tatkala jelas bagi Ibrahim bahwa bapaknya itu adalah musuh Allah, maka Ibrahim berlepas diri daripadanya. Sesungguhnya Ibrahim adalah seorang yang sangat lembut hatinya lagi penyantun” (QS. al-Taubah/9: 114).
Dalam ayat lain, “Sesungguhnya Ibrahim itu benar-benar seorang yang penyantun lagi penghiba dan suka kembali kepada Allah” (QS. Hud/11: 75). Selain itu, Allah juga menggelari sifat al-Halim kepada Nabi Ismail. Allah berfirman, “Dan Kami beri dia kabar gembira dengan seorang anak yang amat halim” (QS. al-Shafaat/37: 101)
Secara historis-normatif, nash di atas jelas memperagakan bahwa sejak masa yang begitu lama, Islam itu adalah penyelamat, sabar, suka berdamai, memberi maaf dan ampun, termasuk tolerance, inclusion, and self-respected. Jadi, umat Islam sudah biasa dan bisa hidup dalam perbedaan, menghargai minoritas, menghargai hak-hak hidup manusia yang asasi, dan bersedia untuk mengikat suatu tali perjanjian dan memegangnya secara teguh.
Yang jelas, bersumberkan al-Qur’an dan Sunnah Rasulullahn Islam mengajarkan umatnya agar menjadi pribadi yang penyantun-pemaaf, penyantun-berbasis pengetahuna, penyantun-tak butuh pengakuan, dan penyantun-penuh syukur. Empat tipologi Muslim seperti inilah yang diharapkan mampu membangun citra bahwa Islam yang peacefull, otentik, dan genuine.
Tipologi pertama, penyantun-pemaaf. Seseorang dikatakan penyantun manakala ia bisa memaafkan kesalahan yang dilakukan orang lain. Tujuannya, selain ia bisa lebih menguasai diri agar tidak bertindak secara penuh nafsu, bagi yang berlaku salah masih diberikan waktu dan kesempatan untuk memperbaiki diri, menyesali perbuatan. Artinya ketimbang memberikan balasan yang membuat orang lain terluka, pribadi yang al-Halim itu lebih suka menunggu sampai orang menyesal, bertobat, mengganti perbuatan buruk dengan kebaikan.
Tipologi kedua, penyantun-berbasis pengetahuan. Dalam satu episode keteladanan Ali bin Abi Thalib, kita bisa mengambil tawshiyah. Yakni, ketika dalam satu pertempuran Ali berkesempatan untuk membunuh musuhnya, tetapi lantaran sejurus orang itu meludahi Ali, maka tiba-tiba Ali menahan pedangnya. Ia tidak mau membalut perjuangan dengan nafsu. Ia berharap orang itu pun beroleh hikmah: menyadari betapa genuine-nya ajaran Islam bagi manusia di muka bumi.
Kendati demikian, bukan berarti Ali tidak mengetahui secara detil kualitas pribadi musuhnya itu. Justru karena ia memiliki pengetahuan dan melandaskan perbuatannya berdasarkan ilmu dan hikmah, ia menahan pedangnya.
Firman Allah yang mendasari bahwa pribadi penyantun haruslah berbasis ilmu pengetahuan adalah, “Allah Maha Mengetahui lagi Maha Penyantun” (QS. al-Nisaa/4: 12. Dan ayat, “Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Penyantun” (QS. al-Hajj/22: 59).
Tipologi ketiga, penyantun-tak butuh pengakuan. Ini merupakan tindakan yang sangat sulit diidentifikasi. Betapa banyak orang yang sepertinya tidak lagi butuh harta dan tahta manakala ia sering turun memberikan derma dan berjuang demi rakyatnya. Tapi nyatanya, semua perilaku penyantun itu hanyalah hiasan belaka. Ia butuh pengakuan dan segala macam atribut keduniaan.
Karena itu, ia tidak memiliki pribadi penyantun, tetapi rakyat dan orang banyaklah yang menyantuninya dengan harta, jabatan, ketenaran dan semua asesoris dunia yang dia inginkan.
Tipologi keempat, penyantun-penuh syukur. Prasyarat ini sangat tepat. Pribadi penyantun adalah mereka yang kerap melihat segala sesuatu yang telah Allah berikan, baik nikmat yang memang diminta sebelumnya atau diberikan begitu saja oleh Tuhan. Ia tetap bersyukur ketika Allah berikan segala macam ujian sehingga dengan itu ia bisa mempertahankan sikap penyantunnya kepada sesama. Ketika ada di antara manusia berbuat aniaya kepada dirinya sehingga membuatnya kehilangan harta benda dan segala macam yang berharga, ia tidak serta-merta menjatuhkan hukuman.
Mengapa? Karena duka berbanding bahagia yang ia terima, begitu jauh berbeda. Allah lebih sering membuat hatinya penuh suka-cita.
Semoga kita bisa belajar secara go to source sehingga lautan ilmu dan hikmah yang terhampar dalam al-Qur’an dan al-Sunnah bisa kita gali dan teladani. Sifat al-Halim sejatinya terpatri di dalam diri, sehingga tolerance, inclusion, and self-respected kita ketahui bukan dari atau kata mereka.*
Komentar