Oleh: Dr. Syamsul Yakin, MA
Pengasuh Pondok Pesantren Madinatul Qur’an Indonesia Kota Depok
dan Pengajar Pascasarjana FIDKOM UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Dalam al-Qur’an surat al-An’am/6: 57, Allah mendeklarasikan diri: “Menetapkan hukum itu hanya hak Allah. Dia menerangkan yang sebenarnya. Dia pemberi keputusan yang paling baik”. Selanjutnya, “Maka patutkah aku mencari pemberi keputusan selain Allah, padahal Dialah yang telah menurunkan al-Qur’an kepadamu secara terperinci” (QS. al-An’am/6: 114).
Dari dua ayat ini saja bisa dipahami bahwa Allah adalah pemberi keputusan yang sahih. Ia mampu menunjukkan supremasi kebenaran atas kebatilan, menetapkan mereka yang benar-benar taat dari para durjana, dan mengatur segala sebab yang kemudian menimbulkan berbagai akibat.
Masalahnya, hanya sebatas itukah ayat-ayat tersebut bisa dipahami? Bila iya, tidakkah berarti telah terjadi pembonsaian terhadap semua makna tersirat di balik ayat yang bisa jadi begitu luas dan bebas ditafsiri? Dan, secara hermeneutis, bukankah ayat harus dibaca sesuai konteks hari ini, bukan semata konteks masa lalu agar kondusif dengan laju sejarah? Kalau demikian, bisakah diraih suluh dari ayat itu dan digapai ketepatan pemahaman dan keakuratan penjabarannya?
Tentu, di tangan kita, ayat tidak kita biarkan jadi kaku dan beku.
Jurgen Habermas pernah mewanti-wanti bahwa ayat bukan sekadar tanda. Tapi ia juga memiliki kekuasaan dan kekuatan untuk menggubah realita serta menghancurkan sebuah tatanan politik yang otoriter. Karena itu, meminjam istilah Paul Ricoeur, penting kiranya bila al-Hakam dipahami maknanya secara laten dan mendalam. Harapan kita, dengan memberikan “kebebasan” kepada ayat-ayat tentang al-Hakam untuk memaknai dirinya sendiri, maka distorsi makna karena “campur tangan manusia” kian kecil.
Maka ayat tersebut bisa dengan leluasa menjangkau siapa saja yang berlawanan arus dengan upaya penegakan hukum dan rasa keadilan masyarakat.
Dari sini, harus dipahami bahwa selain Allah tidak ada yang bisa memberikan keadilan dan menentukan segala sesuatu secara bijaksana. Apalagi memberi legitimasi kepada seseorang untuk berkuasa penuh, tanpa batas dan kontrol. Karena, seperti kata Lord Acton, power tends to corrupts, absolut power corrupts absolutely (kekuasaan cenderung korup, kekuasaan yang absolut korup pula secara mutlak).
Nabi sendiri pernah suatu ketika mengoreksi umatnya mengenai hal ini. Bersumber dari Hani’, al-Imam al-Nasai’ meriwayatkan: ketika Hani diutus kepada Rasulullah, terdengar oleh Rasulullah bahwa banyak orang yang menjulukinya dengan Hani Abu al-Hakam, Lalu, Rasulullah menegur Hani’, “Sesungguhnya Allah saja yang al-Hakam. Allah tempat kembali segala keputusan, dan mengapa kamu dijuluki dengan Abu al-Hakam?” Hani’ menjawab: “Suatu ketika kaumku berselisih, aku diminta untuk menengahinya. Masing-masing pihak menerima ketika aku memberi keputusan. Lalu kata Rasul, “Bagus. Siapa nama anakmu?” Hani’ menjawab: “Syarih, Abdullah, dan Muslim”. Rasul bertanya lagi, “Siapa yang tertua?” Hani’ menjawab, “Syarih”. Lalu Rasulullah berkata, “Kamu sekarang dijuluki Abu Syarih”.
Al-Ghazali, sang Hujjatul Islam, punya cara tersendiri untuk memberi peringatan kepada mereka yang diberi kekuasaan dan kekuatan yang cenderung korup. Hal itu terdomumentasikan dalam karyanya Nashihat al-Mulk dan Makatib al-Ghazali. Ia secara pedas memberi peringatan kepada penguasa pada waktu itu. Misalnya, kepada Muhammad ibn Maliksyah, Fakhr al-Mulk, Wazir Sanjar dan yang lainnya. Dan, al-Ghazali, tentu berharap kepada kita saat ini untuk mentransformasikan makna internal dan orisinal ayat-ayat tentang al-Hakam ke dalam interpretasi yang sesuai dengan konteks zaman.
Secara teologis dan fungsional, memahami Allah sebagai al-Hakam bertujuan: pertama, untuk memelihara akidah agar tidak menyimpang. Sebab keberanian memutuskan hukum berdasarkan kepentingan pribadi atau pesanan berarti telah menyekutukan Allah. Pesan Allah: “…Dia telah memerintahkan agar tidak menyembah selain Allah. Itulah agama yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui” (QS. Yusuf/12: 40).
Kedua, dalam mendapatkan sumber kebutuhan yang terbatas, manusia kerap-kali berselisih. Yang berselisih biasanya bukan karena tidak mendapatkan bagian sama sekali, tetapi mereka menuntut lebih. Rakyat jelata yang hak-haknya terenggut, biasanya hanya terdiam pasrah. Mereka terlanjur percaya sebuah celoteh: menuntut keadilan ihwal hilangnya seekor kambing akan mengakibatkan lenyapnya seekor lembu.
Solusinya seperti apa yang Allah tegaskan, “Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (al-Qur’an) dan Rasul (Sunah) jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian” (QS. al-Nisaa/4: 59).
Ketiga, kita sering melihat sebagian orang yang patah arang dalam mencari keadilan. Keberpihakan mereka yang berkuasa selalau saja untuk mereka yang berpunya. Hukum hanya menjadi dagangan. Dan sedihnya, media massa justru lebih sering memberitakan permukaan persoalan, bukan instisarinya. Aksi jahit mulut, misalnya. Yang diberitakan kegegeran publik menyaksikan aksi jahit mulut. Bukan sebab yang melatarbelakangi mereka melakukan aksi itu. Jadilah kesakitan jadi tontonan. Pengorbanan jadi hiburan. Ratap-tangis dianggap sandiwara (karena sering dilihat dalam sinetron).
Tentunya, lambat-laun tapi pasti niscaya Allah akan memutuskan keadilan. “Bukankah Allah hakim yang seadil-adilnya” (QS. al-Tiin/95: 8). Tetapi Allah meminta umatnya untuk tetap bersabar. Firman Allah: “Maka, bersabarlah hingga Allah menetapkan hukumnya di antara kita. Dia adalah hakim yang seadil-adilnya” (QS. al-A’raf/7: 87). Saudaraku, bila saja amanah keadilan itu ada di pundak kita, saatnya supremasi hukum kita tegakkan. Allah memberi wasiat: “Hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka menurut apa yang diturunkan Allah“ (QS. al-Maidah/5: 49).
Keempat, sesuai makna dasarnya, al-Hakam, yang merupakan derivasi dari kata ha-ka-ma yang berarti “menghalangi”, sebagai pribadi berzikir, kita harus menghalangi terjadinya pembohongan publik, jual-beli hukuman, persidangan sandiwara, pengeksploitasian terhadap kaum papa, dan penganiayaan kepada mereka yang tak berdosa.
Nabi sendiri pernah dihalangi-halangi oleh kaum munafik ketika hendak menyampaikan perintah agar mengikuti hukum yang ditetapkan Allah. “…Mereka hendak berhakim kepada thagut. Padahal mereka telah diperintah mengingkari thagut itu, dan setan bermaksud menyesatkan mereka (dengan) penyesatan yang sejauh-jauhnya. Apabila dikatakan kepada mereka, ‘Marilah kamu (tunduk) kepada hukum yang Allah telah turunkan dan kepada hukum Rasul’, niscaya kamu melihat orang-orang munafik menghalangi (manusia) dengan sekuat-kuatnya dari (mendekati) kamu” (QS. al-Nisaa/4: 60-61).
Kelima, hidup adalah ladang persemaian iman. Terlalu banyak mereka yang datang ke dunia ini yang kemudian pergi begitu saja sebelum melihat keadilan berdiri tegak. Mereka lebih dulu menutup mata pada saat ketidakadilan dan kesewenang-wenangan merajalela. Tetapi mereka bangga, karena bisa memberi teladan untuk generasi sesudahnya. Mereka tetap beriman kepada Allah, kendati Allah tidak pernah kunjung membuktikan keadilan-Nya. Duka mereka berganti ceria ketika “bertemu” Allah malam harinya.
Kita ingin jadi manusia yang tidak bersedih karena hinaan dan tidak gembira karena pujian, tidak berkeluh kesah karena sakit, atau lupa diri ketika mendapat kesenangan. Tepat, kalau firman Allah menjadi pegangan kita, “Supaya kamu jangan berduka cita terhadap apa yang luput dari kamu, dan supaya kamu jangan terlalu gembira terhadap apa yang diberikan-Nya kepadamu. Dan Allah tidak menyukai setiap orang yang sombong lagi membanggakan diri” (QS. al-Hadid/57: 23).
Seperti inilah manusia yang bertanggungjawab terhadap misi kehadirannya di muka bumi. Manusia yang tahu diri. Manusia asli. Atau, meminjam istilah Martin Heidegger, manusia otentik.*