Oleh : Dindin Machfudz,
Jurnalis Senior/Penulis Buku From Astra To Baitullah
SiaranDepok.com – SESUNGGUHNYA telah banyak contoh terjungkalnya seorang pejabat publik atau pejabat negara secara tragis dan dramatis dari jabatannya atau singgasananya. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), kata “terkungkal” bermakna : 1. Terguling, terjatuh; 2. Tersisih, kalah dalam pertandingan, dalam percaturan politik.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Tapi, tokh, manusia sebagai hamba Allah yang secara kodrati dibekali dengan norma, kaidah, nilai-nilai luhur dan mulia beserta instrumen akal budi dan hatinurani untuk berpikir sehat, waras, kritis, mendalam, tak merasa kapok juga. Sombong, congkak, sok kuasa, tengil dan perbuatan “alay” lainnya, tokh, tetap saja diulang-ulang lagi.
Sebut saja kemarin, Walikota Bekasi yang vokal itu, ditangkap KPK. Ironinya dia melanjutkan Walikota sebelumnya yang dibui gegara korupsi juga. Ikut ditangkap sejumlah kepala dinas setempat dan pengusaha berikut barang bukti uang 5,7 miliar rupiah.
Sebelumnya dengan kasus sama, yaitu korupsi dan suap, adalah diringkusnya Wakil Ketua DPR RI Azis Syamsuddin, yang kini sedang diadili dan termehek-mehek mewek di depan majelis Hakim, dan dituntut hukuman 4 tahun 2 bulan penjara oleh JPU (Kejakimpolnews.com). Hal yang berbeda dan kontradiktif saat dirinya memimpin sidang paripurna DPR dan daring yang membahas sebuah rancangan undang-undang kontroversial dan masih menyisakan protes, khususnya kaum buruh, yaitu UU Cipta Kerja. Juga dihukumnya Ketua DPR RI Setya Novanto yang sempat bermain drama mobilnya nabrak pohon, lalu Ketua DPD RI Irman Gusman yang terima sogokan 100 juta rupiah, sebelumnya Ketum Partai Demokrat Anas Urbaningrum yang sempat sesumbar siap digantung di Tugu Monas, dan Ketua Mahkamah Konstitusi Akil Mochtar yang divonis seumur hidup lantaran terima suap dari peserta Pilkada yang mengadu ke MK. Juga para Menteri, sebut saja Menteri Sosial yang direkrut dari Golkar dan PDIP, Menteri Kelautan dari Partai Gerindra, Menteri Olahraga dari Partai Demokrat dan PKB. Juga Jenderal Polisi yang terlibat dalam praktik haram tersebut.
Pertanyaannya kemudian : kenapa perbuatan jahil, jahat, keji, kejam, culas, licik, makar, haram, maksiat dan durhaka tersebut masih juga diulangi di era milenial dan digital ini?!
Apakah karena khilaf?!
Atau karena rakus dan serakah? Atau karena faktor hawa nafsu yang membara?
Tentu saja yang tahu persis modusnya adalah oknum yang bersangkutan. Meski begitu, marilah kita coba menganalisis.
Baca Juga : China Menang dari AS di WTO – Siaran Depok
Pertama, penulis setuju kepada “kesepakatan” kaum pemikir teologi dan pemikir filsafat moral, yaitu bahwa akal budi dan hatinurani itu pada hakikatnya selalu mengajak manusia kepada kebaikan, kebenaran, keadilan, dan kebahagiaan sejati. Oleh karenanya bilamana seorang manusia menyimpang dari konsepsi dasariah tersebut, maka hidupnya akan menderita, gelisah dan tersiksa. Hatinya keruh, keras, hitam kelam. Wajahnya buram. Sorot matanya kelap-kelip berputar-putar. Imbasnya kepada anak-anaknya, yaitu paling banter menjadi pecandu narkoba atau mengalami tekanan kejiwaan hingga depresi, atau DO dari kampusnya. Memang kudu diakui ada perbedaan dari dua kutub pemikiran tersebut, yaitu mengenai asal-muasal akal budi dan hatinurani. Menurut pemikir filsafat moral, akal budi tersebut diberikan oleh alam (W. Poespoprodjo, Filsafat Moral, 1986). Sementara menurut pemikir teologis, akal budi dikaruniakan oleh Allah. Bahkan bersama akal budi juga dikaruniakan agama yang berisi petunjuk dan peringatan Allah serta akhlak (yang disebut sebagai Wahyu), juga tentu saja hawa nafsu yang cenderung selalu mengajak manusia kepada keburukan dan kebatilan sebagai bagian dari paket norma tersebut. Karena itu pula Nabi Saw pernah bilang bahwa dirinya diutus dan turun kembali ke bumi dari Sidratul Muntaha di langit ketujuh adalah “Untuk menyempurnakan akhlak manusia”. Nabi adalah “uswatun hasanah” atau “role models” sejati bagi manusia di jagad ini.
Masih tidak cukupkah?
Wahyu Allah (baca Al-Qur’an) juga memberikan contoh tentang raja Namruz yang perkasa dan kejam karena pernah membakar hidup-hidup Nabi Ibrahim As tapi Allah menjadikan api itu dingin, lalu mati hanya lantaran nyamuk atau lalat masuk ke hidungnya kemudian bersemayam di kepalanya. Karena tak tahan kesakitan, lalu sang Namruz memukul kepalanya sendiri dengan godam hingga tewas. Sebuah kematian yang betul-betul tragis.
*
PANUTAN, uswatun hasanah atau role models sudah ada, tapi tokh kenyataannya manusia tetap saja membandel. Menyeleweng dari norma sosial, norma etika, norma kesusilaan, norma moral, norma hukum dengan segala risikonya. Lalu muncul sebuah pertanyaan besar : jika memang banyak pelanggaran, apakah norma atau kaidahnya yang salah dan ketinggalan zaman alias out of date?
Nanti dulu. Jangan simplistik.
Sebab sebagian norma moral dan norma hukum itu berasal dari hukum Allah. Contoh : nyolong, nipu, bohong, membunuh, memperkosa, zina, homo sex, lesbian, miras. Semuanya terlarang. Semuanya dari hukum Allah.
Lantas bagaimana dengan hukum buatan manusia?! Nah, kalau ini tentu saja ada yang baik dan benar serta adil, ada pula yang cacat karena anasir keadilannya nihil. Contoh : hukuman 8 tahun yang dijatuhkan hakim pengadilan negeri dan pengadilan tinggi kepada Hsbib Riziek Shihab gegara mengatakan dirinya “Alhamdulillah, saya baik dan sehat-wal-afiat … ” sewaktu ditanya oleh seseorang. Hal yang berbeda bilamana dia menjawab : “Saya sakit, dan sesak nafas …” hingga dapat menimbulkan kehebohan pada umat atau komunitasnya sebab kecintaan jamaahnya luar biasa kepada sang tokoh kharismatik melampaui tokoh lainnya di negeri ini. Di sini tampak majelis hakim sudah out of context alias gagal paham. Hakim telah bertindak tidak adil. Integritas moralnya patut dipertanyakan (Dindin M. Machfudz, Integritas Moral Hakim Indonesia Digugat, Kompas, 1 November 1980). Mahkamah Agung akhirnya mendiskon hukuman itu menjadi 4 tahun saja.
Dewasa ini pembahasan beberapa materi RUU di DPR terasa kurang afdol. Akses publik sangat dibatasi. Pendapat atau Opini yang berbeda dengan keinginan pemerintah dan parlemen nyaris tidak mendapatkan porsi atau akses atau respons yang memadai. Sidang paripurna DPR sering hanya untuk “kejar setoran” belaka tanpa mempedulikan substansi materi rancangan dan prosesnya. Contoh materi RUU yang pemikirannya dangkal adalah RUU HIP (Haluan Ideologi Pancasila) yang hendak memeras Pancasila menjadi Trisila dan Ekasila. Ditambah pula vonis hakim sering tidak mencerminkan rasa keadilan yang hakiki hingga akhirnya menjadi jurisprudensi yang nir keadilan dan “sampah” hukum.
Walhasil, selain proses pembahasannya cacat, materinya cacat, atau hukumnya benar tapi penerapannya salah, juga tidak ada kepastian hukum yang ajeg. Hukum terkesan tumpul kepada inner cyrcle kekuasaan dan tajam kepada para pengritik yang sebetulnya memberikan sinyal dini adanya suatu kekeliruan. Tapi mereka malah dihalau dan ditangkapi. Demokrasi dipreteli dari waktu ke waktu. Media konvensional seperti televisi siaran dan koran termasuk edisi onlinenya menjadi anti demokrasi karena rame-rame menjadi penjilat penguasa, bukannya pengritik penguasa seperti dicita-citakan dan diamanatkan oleh PK Ojong pendiri Kompas. Hukum tidak lagi sebagai “Panglima”, tapi sekedar menjadi alat penguasa untuk membungkam para intelektual dan ulama istiqomah yang kritis.
Nah, jika norma hukum dan norma kesusilaan serta norma moral salah; lalu penerapannya “belah bambu”, ditambah oknum hakim, oknum jaksa, oknum polisi, oknum pengacara, oknum pejabat negara “mata duitan”, dan secara genetik oknum-oknum itu mewarisi darah atau bakat culas dan licik leluhurnya, apalah jadinya bangsa ini ke depannya?!
Sejatinya Tuhan Yang Maha Kuasa telah memberikan solusinya yang suprarasional dan metarasional, yaitu yang termaktub dalam
QS Al-Ankabut Ayat 45 :
“Bacalah Al-Qur’an yang telah diwahyukan kepadamu (Muhammad) dan laksanakanlah sholat. Sesungguhnya sholat itu mencegah dari perbuatan keji dan mungkar.” Selain itu juga mewahyukan QS Al-Fatihah yang berintikan permohonan petunjuk Ilahi.
Namun dalam praktiknya, sholatnya dilaksanakan; berbuat maksiat juga jalan terus.
Di sinilah Al-Hujatul Islam Imam Al-Gozali menasihati kita : “Sholatlah kalian seakan sholat ini adalah sholatmu yang terakhir sebelum kematianmu.” Sholat sendiri adalah hadiah atau perintah langsung Allah kepada Rasulullah Saw kala dipanggil Allah untuk menghadap dalam peristiwa dahsyat Isra wal-Mi’raj. Kala teknologi pesawat terbang dan pesawat ulang-alik Apollo belum terpikirkan.