KH. DR. Syamsul Yakin, MA
Pengasuh Ponpes Darul Akhyar
Dosen Pasca Sarjana Fidik UIN Jakarta
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Adakah visi reformasi di balik ibadah puasa? Sudahkah puasa Ramadhan, sebagai salah satu rukun Islam, yang telah bergulir dan kerap kali kita tunaikan membawa pengaruh positif dan bernilai reformatif bagi perilaku dan cara hidup kita sehari-hari? Sekali lagi, Ramadhan kembali datang.
Inilah momentum paling menentukan bagi upaya aktualisasi ibadah puasa di tengah agenda perubahan dan reformasi di segala bidang. Saudaraku, reformasi, perbaikan, dan perubahan yang terjadi di negeri ini akan kehilangan makna, bila kita sendiri tidak bersiaga untuk mereformasi diri.
Mengenai pentingnya mereformasi diri di bulan suci terungkap dalam pesan Rasulullah SAW, seperti diriwayatkan Abu Hurairah: “Betapa banyak orang yang berpuasa namun tidak mendapatkan apa-apa dari puasanya kecuali lapar dan dahaga, dan berapa banyak orang yang shalat malam (di bulan Ramadhan) namun tidak mendapatkan apapun kecuali kelelahan” (HR. al-Darimi). Hakikat puasa menurut hadits ini sedianya mendorong kita untuk melakukan perubahan dan perbaikan; memaknai puasa dari sekadar simbol menjadi esensi, dari hanya bernilai seremonial menjadi bertuah spiritual, dan dari syariat menuju hakekat. Dengan kata lain, puasa reformatif adalah puasa yang pelakunya mampu merobek dinding Ramadhan, menembus ruang dan waktu, dan terus-menerus meneladani sifat-sifat Ramadhan dalam kehidupan.
Secara simbolik, kita bisa mencermati nuansa reformasi puasa Ramadhan dari ketentuan menahan diri dari makan, minum, dan melakukan hubungan seksual pada siang hari. Ketentuan ini bisa dimaknai bahwa pada hakikatnya manusia adalah makhluk rohani dan berawal dari kesucian tanpa dosa. Setelah terpelanting jauh ke tempat yang asing – yang kemudian di sebut dunia (artinya hina, di bawah) – manusia jadi lupa akan hakikat kemanusiaannya sebagai makhluk rohani. Menahan makan, minum, dan seksual adalah ajang latihan dan sarana untuk mereformasi diri (tepatnya mengembalikan diri) menjadi manusia suci.
Kembali menjadi makhluk rohani yang suci adalah bekal utama untuk menghampiri Ilahi kelak. Allah sendiri bersifat rohani dan suci. Dan sangat tidak mungkin kita bisa sampai menuju ke-Hadirat-Nya dengan diri yang berlumur dosa. Oleh karena itu memaknai puasa dengan benar berarti kita sedang melakukan proses purgatorio (penyucian) diri menuju tempat yang dijanjikan yang disebut paradiso (surga), tempat yang dipenuhi dengan jiwa-jiwa yang tenteram dan tenang seperti Firman-Nya: “Wahai jiwa yang tenang. Kembalilah kepada Tuhan dikau, dengan kepuasaan rasa lagi diridhai-Nya. Dan masuklah ke haribaan kelompok hamba-hamba-Ku. Dan masuklah ke dalam surga-Ku” (QS. al-Fajr/89: 27).
Mereformasi diri dengan berpuasa bisa dimulai dengan melakukan hal-hal yang tampaknya sepele. Misalnya, menyeleksi semua yang kita makan dan minum. Sedapat mungkin tidak ada barang haram yang ikut tertelan dan menjadi darah dan daging. Sebab, Nabi SAW katakan tidak akan masuk surga seseorang yang di dalamnya mengalir darah dari makanan yang haram. Bila semua itu terlanjur terjadi, di bulan suci ini, mari kita memperbanyak istighfar, mohon ampun. Pasti Allah akan memberi ampun dan kesempatan untuk memperbaiki diri, bila kita sungguh-sungguh melakukannya. Segeralah mengembalikan barang haram tersebut kepada yang berhak menerimanya. Lalu segera gapai pengampunan mereka atau mungkin rakyat banyak yang telah dirugikan.
Saudaraku, ketamakan perut dan memperturuti nafsu biologis merupakan perpanjangan dari kepuasan duniawi yang temporer dan menipu. Dunia itu sendiri memang penuh dengan puja-puji dan caci-maki. Kesenangan dunia bersifat palsu dan memperdaya. Kian dipenuhi kian terasa tak terpuasi. Padahal akhirat adalah sebaik-baiknya tempat kembali lagi abadi, tetapi mengapa kita masih terus saja berpaling pada dunia yang simbolkan pada kenikmatan perut dan di bawah perut? Puasa tahun ini sedianya menjadi titik-tolak kemenangan supremasi hati nurani dari hati dzulmani.
Dengan sekuat daya dan doa, kita kembalikan potensi diri kita dari al-basyar (manusia hewani) menuju puncak kemanusiaan sebagai manusia yang tercerahkan, yakni al-insan. Semua itu bisa diraih dengan meformasi diri di bulan suci.
Bila saja puasa kita maknai secara tepat, sebenarnya bukan hanya jadi ajang untuk meformasi diri, tapi juga reformasi sosial dan gerakan moral. Puasa sarat dengan segala sesuatu yang positif, seperti kejujuran, kesabaran, kedermawanan, kepemimpinan yang ideal, kesamaan di dalam hukum, termasuk kedinamisan hidup dan etos kerja. Belum terlambat kiranya bagi kita untuk memaknai puasa yang sarat makna. Puasa yang bernuansa reformasi di setiap lini kehidupan.