Siarandepok.com – Guru ngaji atau guru mengaji namanya abadi di hati orang Betawi. Sebab guru ngajilah yang memperkenalkan ali-ba-ta. Cara mengajar al-Qur’an dengan cara mengeja (bukan membuat) terbilang unik. Mengeja tulisan Arab berkembang dan berbeda unggal daerah. Di tanah Betawi saja ada beberapa versi mengeja. Mengeja adalah cara membaca huruf Arab dengan membaca syakal atau barisnya (harakatnya). Seperti fathah, kasrah, dhammah, sukun, fathatain, kasratain, dan dhammatain.
Teknik membaca al-Qur’an dengan cara mengeja diperuntukkan bagi pemula. Ada lampiran khusus yang disiapkan pada bagian belakang al-Qur’an versi Juz ‘Amma yang dulis dengan huruf besar-besar. Para pemula yang sudah lancar mengeja kata demi kata tulisan Arab, oleh guru mengaji dinaikkan pelajaran mereka ke tingkat berikutnya, yakni Juz ‘Amma atau yang dikenal dengan istilah “Qur’an Kecil”. Qur’an Kecil ini tidak lagi dieja cara membacanya tapi dideres bersama-sama mulai al-Fatihah dan surah selanjutnya.
Setelah dianggap mahir membaca Qur’an Kecil, oleh guru mengaji dinaikkan lagi pelajaran mereka, yakni membaca “Qur’an Gede”. Pelajaran Qur’an Gede ini dimulai dari surah al-Baqarah. Pada tahap ini, guru mengaji hanya menyimak bacaan para murid yang sudah mahir. Pada tingkat ini bacaan murid tidak lagi cemama-cemumu (terbata-bata). Tak jarang murid mengaji pada level ini diberi kepercayaan untuk mengajar murid yang di bawahnya, baik yang masih mengeja maupun Juz ‘Amma.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Cara membaca al-Qur’an dengan cara mengeja mulai menghilang pada sekitar 1990-an. Pertama, karena metode ini dianggap ketinggalan. Kedua, karena guru mengaji tempo dulu satu per satu wafat. Ketiga, mulai diperkenalkan metode yang lebih cepat dalam membaca al-Qur’an, seperti Metode Iqra dan Metode al-Barqi. Keempat, tumbuh dan berkembang Taman Pendidikan al-Qur’an (TPA/TPQ) yang tak lagi mengajarkan al-Qur’an dengan cara dieja huruf demi huruf, harakat demi harakat dengan disambung-sambungkan dan didendangkan.
Zaman dulu guru mengaji belum kaprah dipanggil ustadz atau ustadzah seperti guru TPA/TPQ saat ini. Apabila guru mengaji itu adalah seorang amil, dia panggil “Pak Amil” atau Kong Amil” saja. Apabila guru mengaji itu adalah ibu-ibu, dia dipanggil “Mak” atau “Nyak”, bukan ustadzah. Panggilan ini melekat sampai yang bersangkutan wafat. Belakangan ada transformasi panggilan di tanah Betawi dari Emak atau Nyak jadi “Umi”. Entah itu karena pengaruh Arab modern yang masuk ke Indonesia seperti ulang tahun disebut “milad” atau karena sebab lain.
Di tanah Betawi guru mengaji umumnya orang berada. Minimal kaya banda. Rumahnya gede. Berbentuk panggung. Kalaupun bukan panggung di muka rumah ada semacam pendopo. Orang Betawi menyebutnya belandongan. Orang Melayu menyebutnya teratak. Di Belandongan inilah anak-anak mengaji ditempatkan. Mereka ngampar di depan lekar. Lekar adalah meja kecil yang berfungsi sebagai tempat meletakkan al-Qur’an. Lekar biasanya terbuat dari kayu, baik kayu kecapi atau rambutan yang masih tumbuh lebat pada masa lalu di tanah Betawi.
Rumah guru mengaji mulai rame sekitar pukul lima sore. Anak-anak bebenah. Mereka menyapu dan membakarnya di tabunan. Kalau masih ada waktu anak perempuan mengisinya dengan main yeye. Sementara anak laki-laki main tok kadal atau hanya main uber-uberan. Namun anak-anak laki-laki yang sudah agak gede, mereka ditugaskan untuk menimba air dari sumur. Pada masanya di tanah Betawi belum ada pompa air manual, apalagi pompa air listrik seperti sekarang.
Pada masa yang lama, alat untuk menimba air dikenal dengan nama senggot. Alat timba tradisional ini berada di tanah yang luas. Karena senggot memiliki lima bagian. Pertama, tiang yang kokoh yang terbuat dari sebatang pohon. Kedua, bambu yang panjang. Biasanya bambu andong atau bambu petung. Bambu ini dipasang di atas tiang dengan cara tertentu. Setelah bambu yang membentang dipasang pada bagian ujung diikat sebuah ember. Ember adalah bagian ketiga dari senggot. Bagian keempat senggot adalah batu yang dipasang beberapa meter dari tiang penopang dan digantung dipangkal bambu yang membentang tadi. Bagian kelima adalah sumur. Air yang ditimba dari sumur biasanya disimpan di padasan.
Tak jarang guru mengaji itu suami-istri. Sang suami mengajar anak laki-laki, sedangkan sang istri mengajar anak perempuan. Guru mengaji itu sendiri bukan lulusan pesantren, karena hingga 1970-an pesantren belum berdiri di tanah Betawi. Umumnya guru mengaji adalah anak guru mengaji juga. Paling banter mereka lulusan langgar atau madrasah. Namun kepiawaian mereka dalam mengajar membaca al-Qur’an tidak diragukan. Profesi sebagai guru mengaji dijalani sampai mereka mati.
Guru mengaji tidak mendapat gaji. Tidak ada bantuan stimulan dari pemerintah seperti zaman sekarang. Guru lekar seperti ini tidak seperti guru TPA/TPQ yang menetapkan iuran unggal bulan yang harus dibayarkan. Guru lekar adalah nama lain untuk guru mengaji. Sebagai lambang perhatian kepada guru mengaji, masyarakat Betawi pada masa lalu membayar zakat fitrah kepada guru lekar ini. Saat lebaran datang, beras zakat fitrah menggunung di rumah guru mengaji. Diperkirakan cukup untuk makan setahun.
Selain itu guru mengaji juga menerima “uang minyak”. Uang minyak bukan uang pelicin, tapi uang untuk membeli minyak tanah. Alat penerangan saat itu masih menggunakan pelita yang berbahan bakar minyak tanah. Namun, uang minyak ini tidak bersifat wajib. Hanya sukarela saja. Karena itu tidak dicatat dan tidak ditagih bagi murid yang tidak membayar. Uang minyak ini juga tidak besar. Hanya sekadarnya saja. Masyarakat Betawi memang dikenal ikhlas beramal.
Guru mengaji memberi pelajaran mulai Maghrib hingga Isya. Itu dilaksanakan setiap malam tanpa libur. Termasuk malam Minggu. Guru mengaji baru meliburkan diri apabila ada kebutuhan penting dan mendesak. Seperti hajatan atau yang lainnya. Pengajan dimulai setelah lebaran hingga menjelang bulan puasa. Selama bulan puasa pengajian diliburkan. Pada bulan ini semua kegiatan pengajian ditutup sementara untuk mempersiapkan diri menunaikan ibadah yang datang hanya setahun sekali.
Tampaknya keikhlasan guru mengaji pada masa lalu harus terus diwarisi. Selain mereka tidak memungut bayaran dan menentukan nominalnya, mereka juga tidak melakukan komodifikasi profesi mereka. Mereka juga tidak membuat warung jajanan bagi anak-anak. Tidak membuat kantin, kira-kira seperti itu. Guru mengaji kala itu juga tidak memasok al-Qur’an untuk dijual kepada para murid. Mereka bersih dari urusan bisnis. Guru mengaji malah menyiapkan rumah mereka dan fasilitas lainnya secara gratis.
Terakhir, romantisme jadi anak mengaji tentu dialami dan dirasakan oleh hampir semua orang Betawi. Kayu secang kala itu adalah kayu yang paling banyak dicari. Kayu ini sangat bagus kemerahan. Kayu ini dibentuk jadi kalam. Kalam adalah alat penunjuk saat membaca al-Qur’an. Sebelum mengaji, main bagus-bagusan kalam biasa dilakukan ketika itu. Begitu juga obor bambu. Obor bambu jadi penerang satu-satunya saat pulang mengaji. Sebab kampung masih gelap. Ketika itu listrik belum masuk desa.*
