Oleh : Syamsul Yakin
(Penulis Buku “Milir”)
Kendati secara antropologi terbentuknya etnis Betawi dari asimiliasi berbagai budaya seperti Sunda, Jawa, Melayu, Bugis, Ambon. Manado, Makassar, Arab. Tionghoa, India, dan Eropa, namun mayoritas agama orang Betawi adalah Islam. Secara historis, Islam dan Betawi memiliki hubungan erat. Bahkan Islam telah menjadi identitas masyarakat Betawi. Dengan kata lain, Betawi identik dengan Islam. Para ustadz berkontribusi sangat penting dalam memberi pelajaran agama Islam di tanah Betawi.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Tak heran kalau ustadz di tengah-tengah masyarakat Betawi menempati strata sosial atas karena kehormatan yang dimilikinya. Kendati seorang ustadz belum tentu seorang yang kaya, namun dia disejajarkan dengan mereka yang menduduki strata sosial atas. Seperti orang-orang yang memiliki kekuasaan, jabatan tinggi, atau banyak harta banda. Bahkan strata ustadz ada yang menganggap lebih dari itu. Alasannya, karena seorang ustadz sudah tidak memedulikan urusan dunia. Ustadz lebih menampilkan diri sebagai pribadi yang berakidah lurus, ibadah bagus, dan akhlak mulia.
Dari sisi akidah, seorang ustadz di mata orang Betawi adalah pribadi yang meninggalkan kearifan lokal yang berasal dari kepercayaan animisme dan dinamisme. Dia terus-menerus mengajarkan kepada masyarakat Betawi pronsip tauhid atau mengesakan Allah. Tuhan satu-satunya yang wajib disembah. Tuhan tempat bergantung semua makhluk. Seorang ustadz tidak memercayai ancak atau sesajen, mendatangi pawang hujan, memilih hari baik untuk memulai suatu kegiatan atau menghindari hari buruk. Kendati memimpin tahlil, ustadz pada masyarakat Betawi tidak lagi menyertakan dupa dan pedupaan.
Sejatinya hukum menyalakan dupa pada sebuah pedupaan boleh saja apabila dimaksudkan untuk memperharum ruangan sehingga semerbak mewangi. Bahkan hal ini dianjurkan. Namun apabila didedikasikan untuk sebuah ritual yang bertendensi mistis dan apalagi menjurus kepada syirik atau menduakan Allah, hal itu tidak dilakukan oleh orang Betawi. Termasuk dalam konteks ini membakar kemenyan yang dalam pandangan orang Betawi identik dengan syirik. Alasannya hal itu mirip dengan ritual agama lain. Di samping itu, membakar kemenyan seperti ritual seorang yang sedang berkomunikasi dengan roh jahat.
Dari sisi ibadah, seorang ustadz di mata orang Betawi adalah pribadi yang leken. Seperti shalat, puasa, dan ibadah lainnya. Di tengah-tengah orang Betawi, seorang ustadz pasti didaulat jadi imam shalat. Ketika hari Jumat, yang bertugas menjadi khatib dapat dipastikan seorang ustadz. Ketika diselenggarakan kegiatan hari besar Islam, seperti Maulid dan Isra Mikraj, ustadz adalah orang yang tampil paling depan mengalahkan pejabat, orang kaya dan orang gedean lainnya. Apalagi dalam kegiatan taraweh selama sebulan penuh pada bulan puasa, ustadz menjadi primadona.
Namun tidak semua ustadz itu adalah amil. Artinya, tidak semua ustadz bertugas memulasarakan orang mati dan mendampingi naib dalam prosesi pernikahan. Begitu juga amil. Seorang amil belum tentu terbiasa khutbah Jumat. Belum tentu juga terbiasa berceramah dalam acara kenduri kematian atau resepsi pernikahan. Namun ustadz dan amil bisa dan biasa menjadi amil dalam mengelola zakat masyarakat. Di telinga orang Betawi seorang amil tempo-tempo dipanggil ustadz. Namun seorang ustadz kalau dia bukan amil, oleh orang Betawi tidak akan dipanggil amil.
Dari sisi akhlak, seorang ustadz di mata orang Betawi adalah pribadi yang bersifat dan berperilaku mulia. Ustadz dikenal jujur, amanah, dan adil. Karena kejujurannya, orang Betawi memandang bahwa ustadz adalah pribadi yang tidak pernah goroh, curang, hipokrit atau munafek. Karena amanahnya, orang Betawi menempatkan sosok ustadz sebagai pribadi yang tidak pernah khianat. Oleh karena itu orang Betawi percaya penuh kepada seorang ustadz. Karena keadilannya, orang Betawi menyerahkan permasalahan kepada seorang ustadz yang dipercaya tidak zalim dan tidak plin-plan.
Dalam sosiologi agama, ustadz menempati strata agama paling puncer. Namun di dalam kenyataannya, strata tersebut terpecah lagi menjadi tiga. Pertama, rendah tinggi atau lower high. Ustadz dengan strata ini dipandang memiliki kemuliaan dari tiga prinsip ajaran Islam (akidah, ibadah, dan akhlak) yang dikuasainya. Dia sangat dibutuhkan oleh masyarakat Betawi. Namun dia tidak mampu memahami literatur agama secara lebih luas, seperti perdebatan para mutakallimin (teolog) yang berkembang sejak masa klasik, pertengahan hingga modern. Begitu juga soal tasawuf dan filsafat Islam dia tidak memahaminya.
Keterbatasan ini karena dia belum tuntas belajar di pesantren atau tidak pernah makan bangku perkuliahan. Namun masyarakat Betawi memahami hal itu. Apalagi memang persoalan teologis dan perdebatannya tidak dibutuhkan oleh orang Betawi. Yang mereka tahu, namun sebagian besar malah tidak tahu bahwa mereka adalah pengikut Asy’ariah. Dalam konteks ini, orang Betawi dikenal simpel dalam beragama. Asal ada ustadz yang membimbing, mereka tidak ingin tahu lebih dalam tentang suatu persoalan. Karena memang agama bukan untuk diperdebatkan tapi untuk diamalkan. Jadi ustadz dengan strata rendah tinggi ini cocok dengan orang Betawi.
Ustadz dengan strata ini adalah yang paling banyak di tanah Betawi. Dia bisa guru Madrasah Ibtidaiyah (MI) atau Madrasah Diniyah (MD). Bisa guru Taman Pendidikan al-Qur’an (TPA/TPQ). Selain itu, dia adalah guru mengaji di rumah-rumah. Bisa karena sering memberi khutbah, ceramah pada acara selametan atau perkawinan. Posisi mereka ada di masjid, langgar, dan majelis taklim yang tersebar luas di perkampungan Betawi. Secara ekonomi ustadz dengan strata ini hidup berkecukupan, memiliki rumah, dan kendaraan.
Kedua, menengah tinggi atau middle high. Ustadz dengan strata ini dipandang memiliki kemuliaan tinggi. Rata-rata mereka adalah lulusan pesantren di Jawa Barat, misalnya Tipar atau Tasikmalaya. Jawa Tengah dan Jawa Timur. Mereka akrab dengan teks-teks keagamaan seperti Akidah, Syariah, dan Akhlak. Mereka juga ungkulan ketika diminta membaca kitab kuning. Namun agak kurang lancar saat diminta membaca rawi, seperti Syarafal Anam dan Barzanji, atau membaca manakib seorang ulama tertentu, seperti Syaikh Abdul Muhyi mereka menolak dengan sopan. Alasannya, di pesantren asal mereka tradisi tersebut tidak ada.
Setelah menempuh pendidikan pesantren, minimal enam tahun, ustadz dengan strata ini melanjutkan kuliah di Perguruan Tinggi Agama Islam (PTAI), baik negeri maupun swasta. Selain menyandang panggilan ustadz karena bergumul dalam kehidupan sosial-kegamaan masyarakat Betawi, mereka ada yang menjadi Aparatur Sipil Negara (ASN). Ada yang jadi naib, penghulu, atau kepala Kantor Urusan Agama (KUA) di kecamatan atau kabupaten/kota. Ustadz dengan strata ini, sehari-hari dines atau bekerja.
Namun masyarakat Betawi tidak pernah membeda-bedakan kedua entitas ustadz ini secara strata sosial. Kendati ada perbedaan hal itu terjalin secara alami dan terjadi secara fungsional. Misalnya,, soal pendirian madrasah dan masjid diserahkan kepada ustadz middle high, sementara meramaikannya menjadi tugas bersama. Begitu juga pada saat memimpin rapat, merapikan administrasi dan surat-menyurat, umumnya ustadz pada tahu posisi masing-masing. Mereka tidak saling serobot.
Ketiga, tinggi atas atau upper high. Inilah yang disebut profesor. Namun strata ini tidak dikenal oleh masyarkat Betawi. Yang orang Betawi pahami, profesor adalah guru besar (bukan guru gede) pada perguruan tinggi. Profesor bukan ustadz dan ustadz bukan profesor. Kendati Betawi sudah banyak melahirkan profesor, namun tidak ada satu pun di antara mereka yang dipanggil ustadz. Padahal di perguruan tinggi di Timur Tengah, al-Ustadz adalah profesor. Kata “ustadz” itu sendiri ada yang mengatakan serapan dari bahasa Persia. Hal ini bisa didentifikasi karena kata “ustadz” termasuk nomina jamid bukan musytaq.*
