SiaranDepok.com – Kaidah bertetangga itu sama di semua negara, semua bangsa, juga di semua budaya, bahwa manusia yang baik dengan tetangga, murah senyum, tidak jarang berkunjung, menyapa, dan rajin suka berbagi akan menerima manfaat pula dari sekelilingnya. Dan begitu juga sebaliknya, siapa yang jahat terhadap tetangga, buruk sikap, kasar perangai, pelit senyum, dan salam menyapa, begitu pula yang akan ia terima dari sekelilingnya.
Orang yang baik terhadap tetangga, akan banyak disukai oleh tetangga lainnya. Dan hasil keuntungan yang didapat pun bisa bermacam-macam, seperti dikirimi makanan, ketika ada keperluan, yang rela membantu. Ketika kita susah pun banyak tangan tetangga yang menjulur sambil menawarkan bantuan. Begitu yang biasanya diterima oleh orang baik, dan itu semua kita saksikan di tengah masyarakat kita.
Dalam buku Muhammad: Manusia yang Tidak Seperti Manusia karangan Ahmad Zarkasih terbitan Rumah Fiqih Penerbitan disebutkan dalam hal bertetangga, Nabi Muhammad SAW adalah contoh terbaik tentang orang yang baik dalam bergaul dengan tetangga, sehingga menjadi tokoh yang dicintai bagi tetangga. Jelas tidak ada larangan bagi kaum Muslim untuk berbuat baik kepada non -Muslim , bertetangga, bergaul juga bersahabat, selama memang non -Muslim tersebut tidak mengajak kemaksiatan atau juga tidak melarang kita untuk beribadah.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Dijelaskan dalam Kitab suci Al-Qur’an:
“Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak melarang kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil. Sesungguhnya Allah hanya melarang kamu menjadikan sebagai kawanmu orang-orang yang memerangimu agama dan mengusir kamu dari negerimu, dan membantu (orang lain) untuk mengusirmu dan Barangsiapa menjadikan mereka sebagai kawan, Maka mereka itulah orang-orang yang zalim.” (QS. Al-Mumtahanah: 8-9).
Wajah Santan Dakwah Nabi
Kebenaran ada pada menghadapi, -tidak ada yang meragukan itu- Rasul SAW tidak pernah mengungkapkan kebenaran itu dengan perasaan orang yang diajaknya atau diajarnya. Ini yang seharusnya diteladani bagi para pendakwah atau setidaknya penyampai kebenaran. Benar sudah pasti, tapi tidak ada kata-kata kotor yang menyertai, tidak ada juga yang ingin mengikuti.
Nabi bahkan tidak pernah menyalahkan orang yang salah. Dalam Shahih al-Bukhari di kitab Shalat Tahajjud , Nabi SAW pernah memberikan nasihat kepada para sahabat untuk tidak mengikuti ‘fulan’; sebab si “Fulan” malam hari bangun, tapi tidak shalat. Hebatnya tidak ada nama yang disebut Nabi SAW, walaupun beliau tidak tahu siapa yang bangun tapi tidak shalat.
