SiaranDepok.com – Kegiatan Maulid Nabi Muhammad SAW pertama kali dilakukan pada zaman khalifah Mu’iz li Dinillah, seorang khalifah Diinasti Fathimiyah di Mesir yang hidup pada 341 H. Kegiatan ini dilarang di masa Al-Afdhal bin Amir Al-Juyusy, seorang perdana menteri khalifah Al-Musta’ali Dinasti Fathimiyah.
Menurut Sejarawan dan Ulama asal Mesir Syamsuddin As-Sakhawi, Maulid Nabi diperbolehkan kembali pada masa pemerintahan Amir li Ahkamillah pada 524 H. Beliau adalah pemimpin sekaligus Imam di Dinasti Fathimiyah.
Pendapat lain dari catatan Sayyid al Bakri, peringatan Maulid Nabi pertama kali dilakukan pada masa pemerintahan Khalifah Mudhaffar Abu Said atau seorang Raja di daerah Irbil, Baghdad. Sang khalifah pada saat itu sedang mencari cara untuk membangkitkan heroisme kaum muslim menghadapi Jengis Khan.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
“Peringatan Maulid pada saat itu dilakukan masyarakat dari berbagai kalangan dengan berkumpul di suatu tempat. Mereka bersama-sama membaca ayat-ayat Al-Qur’an, membaca sejarah ringkas kehidupan dan perjuangan Rasulullah, melantunkan shalawat,” tulis Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia.
Perayaan juga dilakukan selama tujuh hari tujuh malam dengan hidangan 5.000 ekor kambing, 10.000 ekor ayam, 100.000 keju. Acara ini telah menghabiskan 300.000 dinar uang emas dan 30 ribu piring makanan. Peringatan ini dikatakan sukses meningkatkan moral dan heroisme kaum muslim.
Versi lainnya dijelaskan oleh Dosen Institut Ilmu Keislaman Zainul Hasan Genggong Kraksaan, Probolinggo, Moch Yunus. Ia menulis dalam jurnal yang berjudul Peringatan Maulid Nabi (Tinjauan Sejarah dan Tradisinya di Indonesia).
Jurnal tersebut menjelaskan, sejarah Maulid Nabi Muhammad SAW berasal dari masa pemerintahan Sultan Salahudin Al Ayubi. Saat itu tujuannya untuk menambahkan semangat juang dan persatuan kaum muslim dengan meningkatkan kecintaannya kepada Nabi.
Perayaan tersebut sempat mendapat penolakan dari para Ulama. Sebab, peringatan Maulid Nabi dinilai tidak sesuai dengan ajaran Agama Islam.
Sultan kemudian membantah. Menurutnya, perayaan hanya bersifat syiar keagamaan bukan ritual. Perayaan juga bukan sekadar peringatan ulang tahun.
Setelah mendengar alasan ini, Khalifah An-Nashir di Bagdad menyetujui usul sang sultan. Selanjutnya di musim haji 1183 Masehi, sang Sultan meminta para jamaah menyiarkan perayaan Maulid Nabi Muhammad SAW di negara asalnya pada 12 Rabiul Awal.
Secara subtansial, perayaan Maulid Nabi 2022 ini juga merupakan bentuk upaya untuk mengenal keteladanan Nabi Muhammad SAW sebagai pembawa ajaran agama Islam. Sebagaimana tertuang dalam surah Al A’raf ayat 157 tentang keutamaan memuliakan dan mencintai Nabi Muhammad SAW.
