Siarandepok.com – Doa adalah cara manusia untuk bisa berbicara dengan Tuhan. Doa juga merupakan salah satu bentuk ikhtiar atau usaha untuk memohon atau meminta kepada Tuhan dan merupakan salah satu ibadah yang dianjurkan. Dalam doa mengucap syukur, meminta pertolongan, perlindungan, dan lain sebagainya. Berikut merupakan sebuah tulisan dari Syamsul Yakin, Dosen Pascasarjana KPI FIDKOM UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, mengenai doa yang digunakan Nabi Musa.
“Tuhanku! Lapangkanlah dadaku! Mudahkanlah urusanku! Hilangkanlah hambatan dari lidahku sehingga mereka memahami ucapanku” (QS. Thaha/20: 25-28).
Doa Nabi Musa ketika menghadapi Fir’aun. Tentang pertentangan Nabi Musa dan Fir’aun terekam dalam Musa wa Harun. Dua karya yang disadur oleh Amanullah Halim menjadi karya dengan judul tersendiri yakni Musa Versus Fir’aun. Disebutkan dalam buku tersebut, Nabi Musa memohon kepada Allah agar melapangkan hatinya sehingga mampu melaksanakan tugas besar yang diamanahkan Allah SWT tanpa beban kejiwaan. Terutama, ketika menghadapi Fir’aun, raja Mesir yang mengaku Tuhan.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Buku karya Amanullah Halim menuliskan kalau doa ini mengajarkan bahwa jika melaksanakan suatu tugas penting dengan berat hati, itu berarti sepertiga potensi seseorang telah terbuang sia-sia. Sebaliknya, jika melaksanakannya dengan hati lapang dan penuh suka cita atau merasa senang dengan tugas yang dilakukan, maka sesungguhnya hal itu akan melipatgandakan kekuatan. Selain faktor kejiwaan yang positif dalam menjalankan tugas, dibutuhkan kuasa Allah untuk memudahkan pekerjaan besar yang dihadapi. Dalam menghadapi Fir’aun, Nabi Musa merangkaikan keduanya.
Pengarang Tafsir Munir, Wahbah Zuhaili, mengatakan ketika Allah SWT memerintahkan Nabi Musa untk menemui Fir’aun, Nabi Musa meminta kepada Allah sejumlah permohonan.
Pertama, Nabi Musa berdoa, “Tuhanku lapangkanlah dadaku dan hilangkanlah kesempitan darinya dalam menyambut risalah yang Engkau utus diriku dengannya. Karena ini merupakan perkara yang agung dan berat”. Adapun sebab dari permintaan Nabi Musa ini, menurut Wahbah Zuhaili, adalah kata-katanya, “sehingga dadaku terasa sempit dan lidahku tidak lancar, maka utuslah Harun (bersamaku)” (QS al-Syu’ara/:13).
Kelapangan dada, kata Sayyid Quthb dalam Tafsir Fi Zhilal al-Qur’an, akan mengubah segala kesulitan kenyamanan, menyulap segala pahit getir menjadi nikmat, dan menjadikan kesulitan sebagai motivator kehidupan, bukan beban yang memberatkan.
Kedua, “mudahkanlah urusanku!” atau “mudahkanlah aku dalam melaksanakan tugas yang Engkau bebankan berupa menyampaikan risalah, dan kuatkan aku dalam melaksanakan misiku karena jika bukan Engkau yang menjadi penolongku, maka aku tidak mempunyai kekuatan untuk menunaikan tugas itu”. Anugerah kemudahan dari Allah kepada hamba-Nya, kata Sayyid Quthb, adalah jaminan kesuksesan. Kalau bukan karena kemudahan Allah, tidak ada yang dimiliki oleh manusia. Karena kekuatan manusia terbatas, ilmunya sedikit, serta jalan yang akan dilalui panjang, berliku, penuh duri, dan serba misteri.
Ketiga, “hilangkanlah hambatan dari lidahku sehingga mereka memahami ucapanku” atau ”lancarkanlah lidahku dalam berbicara dan hilangkanlah kekakuan darinya agar mereka memahami ucapan dan perkataanku dalam menyampaikan risalah”. Di lidah Nabi Musa, tulis Wahbah Zuhaili, terdapat kekakuan atau cadel karena ketika ditawarkan kepadanya sebuah kurma dan bara api. Nabi Musa, saat masih kecil, mengambil bara api tersebut dan meletakkannya di lidahnya. Diriwayatkan bahwa lidah Husain Ibnu Abi Thalib juga mengalami hal yang sama, maka Nabi SAW bersabda, seperti dikutip Wahbah Zuhalili dalam tafsirnya, “Sesungguhnya cadel ini dia warisi dari pamannya, Musa”.
Melihat doa Nabi Musa ini sebagai komunikasi doa dalam al-Qur’an yang sangat lengkap. Hal itu bisa ditelusuri dalam ayat selanjutnya, yakni ayat 28-35 dalam surat Thaha di atas. Sayyid Qutbh dan Wahbah Zuhaili menelisiknya mulai dari minta dilapangkan dada, dimudahkan segala urusan, dilancarkan lidah, minta asisten yang berasal dari keluarganya, yakni Nabi Harun. Dalam penafsiran Wahbah Zuhaili, inilah pemohonan Nabi Musa, “Jadikanlah dia (Harun) sebagai rasul agar dia juga memikul tanggung jawab menyampaikan risalah”.
Secara lebih lengkap inilah permohonan Nabi Musa itu, “Dan jadikanlah untukku seorang pembantu (dalam mengerjakan tugas-tugas kenabian) dari keluargaku, (yaitu) Harun, saudaraku. Tegakkanlah dengannya kekuatanku, dan jadikanlah dia sekutu dalam urusanku. Supaya kami banyak menyucikan-Mu (dari segala yang tidak wajar bagi-Mu, menyangkut zat, sifat, maupun perbuatan-Mu), dan supaya kami banyak mengingat (kebesaran dan anugerah-Mu)” (QS. Thaha/20/29-35).
Mengapa Nabi Harun yang dipilih Nabi Musa untuk menjadi mitranya? Menurut Aminullah Halim, selain Nabi Harun lebih fasih dari Nabi Musa, Nabi Harun juga memiliki sekian banyak sifat mulia, antara lain adalah ia memiliki kelebihan dalam hal kelemah-lembutan dan kesantunan. Sedangkan Nabi Musa cenderung lebih keras dan temperamental. Hal itu dapat dimengerti ketika Nabi Musa merespons tindakan orang-orang Israil yang menyembah anak sapi. Ia menumpahkan amarahnya kepada Nabi Harun.
Nabi Musa memegang jenggot dan kepala Nabi Harun sambil berkata, ”Wahai Harun apa yang menghalangimu ketika engkau melihat mereka telah sesat, (sehingga) engaku tidak mengikuti aku? Maka apakah engkau telah mendurhaki perintahku?” (QS. Thaha/20: 92-93). Dan inilah jawaban Nabi Harun, ”Wahai putra ibuku, janganlah engkau pegang jenggotku, dan jangan (pula) kepalaku, sesungguhnya aku khawatir engkau akan berkata, ’engkau telah memecah belah antara Bani Israil, dan engkau tidak memelihara ucapanku” (QS. Thaha/20/94).
Di dalam al-Qur’an diperkenalkan dengan sejumlah model komunikasi, baik yang telah dipraktikkan Nabi Musa dan Nabi Harun, atau para nabi dan rasul lainnya.
Pertama, qawlan ma’rufan atau ucapan yang pantas dan baik. Misalnya, Allah berfirman, ”Dan tidak ada dosa bagi kamu meminang wanita-wanita itu dengan sindiran atau kamu menyembunyikan (keinginan mengawini mereka) dalam hatimu. Allah mengetahui bahwa kamu akan menyebut-nyebut mereka, dalam pada itu janganlah kamu mengadakan janji kawin dengan mereka secara rahasia, kecuali sekadar mengucapkan (kepada mereka) perkataan yang ma’ruf” (QS. al-Baqarah/2: 235).
Kedua, qawlan sadidan. Artinya pembicaraan yang benar. Dalam al-Qur’an, misalnya, ”Dan hendaklah takut orang-orang yang seandainya meninggalkan di belakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan) mereka. Oleh karena itu, hendaklah mereka bertakwa kepada allah dan hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang benar lagi tepat” (QS. al-Nisa/4: 9).
Ketiga, qawlan baligha. Artinya, perkataan yang membekas di hati. Allah berfirman, ”Mereka itu adalah orang-orang yang Allah mengetahui apa yang di dalam hati mereka. Karena itu berpalinglah kamu dari mereka, dan berilah mereka pelajaran, dan katakanlah kepada mereka perkataan yang membekas pada jiwa mereka” (QS al-Nisa/4: 63).
Keempat, qawlan kariman. Artinya perkataan yang mulia. Allah berfirman, ”’Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-keduanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia” (QS. al-Isra/17: 23).
Kelima, qawlan maisuran atau perkataan yang mudah. Allah kemukakan, “Dan jika kamu berpaling dari mereka untuk memperoleh rahmat dari Tuhanmu yang kamu harapkan, maka katakanlah kepada mereka ucapan yang pantas” (QS. al-Isra/17: 28).
Keenam, qawlan layyinan atau perkataan yang lembut. Allah berfirman, “Pergilah kamu berdua kepada Fir’aun, seungguhnya dia telah melampaui batas. Maka berbicaralah kamu berdua kepadanya dengan kata-kata yang lemah lembut. Mudah-mudahan ia ingat atau takut” (QS. Thaha/20: 43-44).
Ketujuh, qawlan tsaqilan atau perkataan yang berbobot. Allah berfirman, “Sesungguhnya kami akan menurunkan kepadamu perkataan yang berat” (QS. al-Muzzammil/73: 5).
Terakhir, Doa Nabi Musa kepada Allah, menurut Wahbah Zuhaili, adalah salah satu bentuk ibadah. Tujuannya, untuk kemudahan misinya dan agar dapat merealisasikannya secara paripurna. Allah merespons semua doa Nabi Musa di atas, sebagaimana dengan sangat jelas Allah firmankan dalam al-Qur’an, ”Sungguh, telah diperkenankan permintaanmu, wahai Musa” (QS. Thaha/20: 36).
Semoga dengan meminjam doa Nabi Musa, segala yang kita pinta kepada Allah juga dikabulkan-Nya. Amin!
(IM)