Oleh: Syamsul Yakin
Pengasuh Pondok Pesantren Darul Akhyar Parung Bingung Kota Depok
Idul Fitri tidak identik dengan lebaran. Lebaran dengan semua tradisinya pasti berlalu. Tetapi Idul Fitri dengan makna hakikinya sedianya terus menjadi cermin bagi perbuatan dan perilaku kita sepanjang tahun.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Motivasi lebaran dipacu untuk memuaskan apsek fisikal yang dangkal. Sedangkan kerinduan akan Idul Fitri dipicu karena manusia sadar akan eksistensinya: dari mana berasal, untuk apa diciptakan, dan akan ke mana kelak. Bila lebaran bersimbolkan pakaian dunia yang serba baru, maka Idul Fitri berbalutkan pakaian ukhrawi yang serba otentik.
Lebaran dinantikan oleh mereka yang menekankan aspek kemeriahan dan kemegahan palsu dan serba menipu. Idul Fitri dinantikan oleh mereka yang selalu mengheningkan cipta, melakukan perenungan, dan peningkatan iman yang dibuktikan dengan kesepadanan antara porsi spiritual dan material serta antara saleh secara ritual dan sosial.
Tegasnya, bila selepas Ramadhan, hati kita belum juga sudi menengok dan berpihak pada keadilan, kebenaran, kedamaian, persatuan, kemakmuran untuk semua berarti kita belum ber-Idul Fitri.
Karena kita gagal menyingkap tabir kemanusiaan dan ketuhanan. Kita tidak memiliki kepekaan terhadap seluruh eksistensi diri.
Allah SWT berpesan untuk kita renungi: “Barang siapa yang menghendaki keuntungan di akhirat akan Kami tambah keuntungan baginya di dunia, dan barang siapa yang menghendaki keuntungan di dunia Kami berikan kepadanya sebagian dari keuntungan dunia dan tidak ada baginya satu bagian pun di akhirat” (QS. al-Syuura/42: 42).
Dalam bahasa kita, ayat di atas bisa kita maknai: Bila di penghujung Ramadhan ini, kita memotivasi diri untuk terus-menerus meningkatkan intensitas hablumminallaah dan hablumminanaas agar menggapai nilai hakiki Idul Fitri, maka kegembiraan lebaran juga akan kita dapatkan.
Namun, bila lebaran adalah tujuan terakhir dari puasa hingga kita sibuk mempersiapkannya, bisa dipastikan kita akan mendapatkan kemeriahan dan kemegahan lebaran itu saja dan tidak ada sedikitpun kesucian Idul Fitri pada diri kita.
Saudaraku, mari kita maknai semua momentum keagamaan dan kemasyarakatan dengan menyibak hakikatnya. Idul Fitri adalah hari di mana hati “merayakan” kembali kesuciannya. Fithrah manusia adalah suci-bersih. Kedatangan Idul Fitri yang didahului oleh “hari-hari pembakaran” dan tapabrata.
Ramadhan harus kita pertahankan. Allah sendiri menetapkan bahwa manusia identik dengan kesuciaan bila kita dapat terus menjaganya.
Allah pertegas hal itu dalam bahasa puitis al-Qur’an:
“Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada Agama (Allah); (tetaplah atas) fithrah Allah yang telah menciptkan fithrah manusia menurut fithrah itu. Tidak ada perubahan pada fithrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui” (QS. al-Ruum/30: 30).
Kalimat terakhir ayat di atas membuat kita khawatir. Apakah kita selama ini termasuk orang yang memahami Kehendak Allah melalui bimbingan al-Qur’an dan Sunnah? Ataukah kita beragama sesuai selera kita, sehingga secara tidak sadar sebenarnya kita hanya mengikuti “agama” yang kita ciptakan sendiri?
Menjelang hari kemenangan penuh kesuciaan, mari kita berkaca diri. Kita gugat model keberagamaan kita selama ini. Kita hancurkan doktrin-kaku yang membatu dan tanpa dasar.
Agama berperan untuk mengarahkan manusia mengembalikan kesuciannya, bukan mengekalkan kenikmatan duniawi yang serba meriah, mewah dan megah.
