Oleh: Dr. Syamsul Yakin, MA
Pengasuh Pondok Pesantren Madinatul Qur’an Indonesia Kota Depok dan Dosen Pascasarjana FIDKOM UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
”Ya Tuhan kami! Isilah kami dengan kesabaran dan wafatkanlah kami sebagai orang Islam (yang menyerahkan diri kepada Allah) (QS. al-A’raf/7: 126)
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Doa di atas muncul terkait dengan ayat sebelumnya, yakni ketika Fir’aun berkata kepada para tukang sihir, ”Sungguh aku akan memotong tangan dan kakimu secara silang. Kemudian aku benar-benar akan menyalib kamu semua. Para tukang sihir itu berkata, ”Sesungguhnya kepada Tuhan kamilah kami kembali. Dan kamu tidak membalas dendam kepada kami melainkan karena kami telah beriman kepada ayat-ayat Tuhan kami tatakala ia datang kepada kami. ”Ya Tuhan kami! Isilah kami dengan kesabaran dan wafatkanlah kami sebagai orang Islam (yang menyerahkan diri kepada Allah)” (QS. al-A’raf/7: 124-126).
Ibnu Abbas berkata, seperti dikutip Muhammad Nashir al-Raifa’i dalam Taisiru al-Aliyyul Qadir li Ikhtishari Tafsir Ibn Katsir, orang yang pertama menyalib dan memotong kaki dan tangan secara silang adalah Fir ’aun. Ucapan para tukang sihir, ”Sesungguhnya kepada Tuhan kamilah kami kembali”, berarti bahwa kami telah yakin bahwa kepada-Nyalah kami akan kembali dan azab-Nya lebih keras daripada azabmu, maka hari ini kami akan bersabar dalam menerima azabmu agar kami dapat terlepas dari azab Allah. Itulah mengapa kemudian mereka berdoa, ”Ya Tuhan kami! Isilah kami dengan kesabaran dan wafatkanlah kami sebagai orang Islam (yang menyerahkan diri kepada Allah)” (QS. al-A’raf/7:126).
Dalam surat Thaha/20 ayat 72-75, perkataan mereka lebih tegas lagi terhadap Fir’aun, ”Maka putuskanlah apa yang hendak kamu putuskan. Sesungguhnya kamu hanya akan dapat memutuskan pada kehidupan di dunia ini saja. Sesungguhnya barangsiapa yang datang kepada Tuhannya dalam keadaan berdosa, maka sesungguhnya baginya neraka jahanam. Ia tidak mati di dalamnya dan tidak pula hidup. Dan barangsiapa yang datang kepada Tuhannya dalam keadaan beriman lagi sungguh-sungguh telah beramal saleh, maka mereka itulah orang-orang yang memperoleh tempat-tempat yang tinggi”.
Ada informasi menarik, seperti ditulis al-Qurthubi dalam Tafsir al-Qurthubi, diriwayatkan bahwa orang-orang yang ikut beriman bersama para tukang sihir itu berjumlah enam ratus ribu orang. Dalam riwayat lainnya, disebutkan bahwa Fir’aun membawa para tukang sihirnya ke tepi sungai Nil untuk menghukum mereka secara bersama-sama. Muhammad Nashir al-Raifa’i menambahkan informasi lain bahwa pada siang hari mereka sebagai tukang sihir dan sore hari mereka menjadi syuhada yang salih. Abdullah Yusuf Ali dalam The Holy Qur’an mengamati, bahwa perintah Fir’aun melawan tukang-tukang sihir cukup keras. Hal itu bisa dilihat dalam ayat-ayat berikutnya.
Menurut al-Syaukani dalam Tafsir Fathul Qadir, kata al-Ifraagh dalam model komunikasi doa di atas adalah al-shabb, yang artinya mencurahkan. Jadi maksudnya, ”Curahkanlah kesabaran kepada kami hingga meliputi dan melengkapi kami. Mereka (orang-orang Mesir) meminta jenis kesabaran yang tinggi sebagai persiapan untuk menghadapi siksaan yang akan ditimpakan kepada mereka oleh musuh Allah itu. Kesabaran model ini juga ditujukan untuk mempersiapkan mental mereka menghadapi penyaliban. Tujuannya, agar mereka tetap berada di atas kebenaran dan keimanan.”.
Selanjutnya anak kalimat ”Dan wafatkanlah kami sebagai orang Islam (yang menyerahkan diri kepada Allah”, lanjut al-Syaukani, adalah: ”Wafatkanlah kami dalam keadaan tetap teguh terhadap Islam, tidak menukar, mengganti maupun terpedaya”.atau dengan bahasa yang lain, seperti diungkap al-Qurthubi, ”Wafatkanlah kami dalam keadaan menyerahkan diri kepada-Mu, kendati wafat kami itu karena disiksa yang dilakukan oleh Fir’aun ataupun bukan”. Al-Thabari dalam Tafsir al-Thabari, menulis, ”Cabutlah nyawa kami dalam keadaan Islam, agama kekasih-Mu Ibrahim, bukan dalam kemusyrikan”. Hal ini menunjukkan bahwa cara mati bagi mereka bukan masalah asal dalam keadaan beriman kepada Allah SWT.
Lebih tegas lagi, ungkap Abdullah Yusuf Ali, dengan kesabaran dan ketabahan yang tinggi, mereka menunjukkan bahwa tobat mereka benar. Mereka bersedia mati syahid demi membela keyakinan. Diketahui pengorbanan mereka mempengaruhi bangsa Mesir dalam dua segi. Pertama, mereka muncul dari orang-orang yang biasa melakukan perbuatan palsu menurut kepercayaan takhayul di Mesir. Perubahan keyakinan mereka merupakan pukulan yang mengejutkan. Kedua, penyembahan kepada dewa-dewa yang telah ditinggalkan oleh mereka membuka peluang singgahnya agama monoteisme seperti ajaran Nabi Isa dan Nabi Muhammad SAW ke bumi Mesir.
Sebenarnya apakah sabar itu, sehingga kita memohon kesabaran? Tallal Alie Turfe dalam Mukjizat Sabar: Terapi Meredam Gelisah Hati berpendapat bahwa hakikat sabar adalah ketika kita mampu mengendalikan diri untuk tidak berbuat keji dan dosa, ketika mampu menaati semua perintah Allah. Ketika mampu memegang teguh akidah Islam. Ketika mampu tabah serta tidak mengeluh atas musibah dan keburukan apapun yang menimpa kita. Hal ini bisa dikaitkan dengan makna sabar itu yang berarti ”mengikat” dan ”menguatkan”. Yang diikat disini adalah kelemahan dan perilaku irasional yang dapat mencemari kepribadian kita yang islami, menjatuhkan martabat, bahkan menghancurkannya.
Dalam kaitan di atas, Ahmad Abduh Iwadh dalam Fi Shuhbah al-Ahadits al-Qudsiyyah mengutip sebuah hadits qudsi menarik. Abu Said al-Khudri meriwayatkan bahwa Rasulullah SAW bersabda, ”Nabi Musa pernah berkata, ’Wahai Tuhanku! Hambamu yang mukmin disempitkan kehidupannya di dunia’”. Beliau melanjutkan sabdanya, ”Dibukalah pintu surga sehingga Musa bisa melihatnya. Lalu Allah SWT berfirman, ’Wahai Musa inilah yang telah aku persiapkan baginya’. Maka Musa berkata, ’Wahai Tuhanku! Demi kemuliaan-Mu dan keagungan-Mu, kalaulah kedua kaki dan tangan hamba-Mu yang mukmin itu tidak pernah ada dari sejak Engkau menciptakannya sampai hari kiamat nanti, sedangkan ini adalah tempat kembalinya, maka dia tidak akan pernah merasakan kesedihan lagi’.
Lalu Musa melanjutkan perkataannya, ’Wahai Tuhanku! Hambamu yang kafir diluaskan kehidupannya di dunia’”. Maka dibukakanlah pintu neraka, sehingga Musa pun diperlihatkam kepadanya. Lalu Allah SWT berfirman, ’Wahai Musa! Inilah yang telah Aku persiapkan baginya’. Maka Musa berkata, ’Wahai Tuhanku! Demi kemuliaan-Mu dan keagungan-Mu, kalaulah hamba-Mu yang kafir itu memiliki dunia dari sejak Engkau menciptakannya sampai hari kiamat nanti, sedangkan ini adalah tempat kembalinya, maka dia tidak pernah melihat kebaikan sama-sekali”.
Sejatinya, kata Tallal Alie Turfe, sabar adalah indera tersembunyi. Seringkali manusia cepat putus asa, malas, cemas, lemah-mengalah, dan ragu-ragu. Manusia membutuhkan sifat yang dapat meneguhkan dirinya agar mampu menjadi manusia berkarakter sempurna. Di sinilah pentingnya indera tersembunyi atau indera keenam yang bernama sabar itu. Namun indera ini tidak bisa muncul kecuali kita mengerahkan upaya ekstra. Manusia yang lemah tidak punya keberanian untuk melakukan upaya ini. Ia juga tidak punya ketahanan dalam menghadapi kemalasan. Ia menganggap bahwa usaha yang terus-menerus tidak akan menghasilkan apapun kecuali kegagalan. Ia mudah merasa kalah sebelum bertanding.
Selain sukses di dunia, balasan bagi orang yang sabar adalah surga. Abu Umamah meriwayatkan bahwa Rasulullah SAW bersabda dengan menyampaikan firman Allah SWT, ”Wahai Bani Adam! Apabila engkau bersabar dan berintrospeksi dalam menerima musibah, aku tidak ridha memberikan pahala bagimu kecuali surga” (HR Ibnu Majah). Selain itu, orang yang sabar juga mendapat pujian dari Nabi SAW. Nabi SAW katakan, ”Alangkah menakjubkan keadaan seorang mukmin. Setiap persoalan yang dihadapinya selalu menjadi kebaikan. Dan sikap itu tidak bisa dimiliki oleh siapapun kecuali orang mukmin. Apabila gembira menghampirinya, dia bersyukur, dan itu menjadi kebaikan baginya. Dan apabila kesusahan menimpanya, dia bersabar, dan itu menjadi kebaikan baginya” (HR Muslim).
Ahmad Abduh Iwadh mengutip Muhammad Ibnu Ja’far yang berkata, ”Aku kagum kepada empat perkara sehingga mustahil seseorang itu berpaling dari empat perkara tersebut. Pertama, aku kagum kepada orang yang diuji dengan kelalaian. Bagaimana mungkin dia bisa lalai dari mengucapkan: ’Tidak ada Tuhan selain Engkau. Maha Suci Engkau. Sesungguhnya aku termasuk oang-orang yang zalim”. Kedua, aku kagum dengan orang yang diuji dengan makar. Bagaimana mungkin dia bisa lalai dari mengucapkan: ’Aku menyerahkan segala urusanku kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Melihat kepada hamba-Nya’.
Ketiga, aku kagum dengan orang yang diuji dengan rasa takut. Bagaimana mungkin dia bisa lalai dari mengucapkan, ’Cukup bagiku Allah. Dan Dialah sebaik-baiknya Pelindung’. Keempat, aku kagum kepada orang yang diuji dengan kemudharatan. Bagaimana mungkin dia bisa lalai dari mengucapkan, ’Tuhanku, sesungguhnya kemudharatan telah datang menimpaku, sedangkan Engkau Maha Pengasih”.
Karena itu, kita berharap apapun yang terjadi pada diri kita, semoga Allah memberi kita derajat sabar tertinggi. Itulah kesabaran yang baik. Yakni, sabar dengan cara selalu berzikir (ingat) kepada Allah. Inilah pesan Allah, ”Maka bersabarlah engkau (Muhammad) dengan kesabaran yang baik” (QS al-Ma’arij/70: 5). Semoga!*
Editor: Nadia
