Oleh: Dr. Syamsul Yakin, MA
Pengasuh Pondok Pesantren Madinatul Qur’an Indonesia Kota Depok
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Keadilan adalah faithful realization of existing law. Sebaliknya, ketidaksetiaan pada hukum yang berlaku adalah kezaliman. Secara sosio-historis, perilaku zalim kerap berbuah teror, derita, sakit hati, dan dendam berkepanjangan. Sedang dari perbuatan adil mengalir kedamaian, keseimbangan,6 keteraturan, dan cinta yang berbalut kasih.
Sungguh, keduanya telah menggubah dunia dan peradaban manusia. Berdasar keadilan, banyak sudah pemimpin yang rela mati demi rakyatnya. Pun, karena kezaliman, manusia tega memangsa sesamanya. Akibatnya, langit pecah dan dunia bersimbah darah.
Bentuk lain kezaliman manusia abad ini adalah hanya mereguk anggur spiritual dari agama. Bagi mereka, Religion No, Spirituality Yes. Pandangan ini seperti hendak memperkokoh sabda Karl Marx, F. Engels, F. Nietzche, J.P. Sartre, L. Feuerbach, Sigmund Freud untuk membubarkan agama. Alasan mereka, agama (mereka?) telah memandulkan peradaban manusia. Agama adalah opium yang membius masyarakat. Agama telah membuat manusia terlena akan mimpi-mimpi yang diciptakan sendiri.
Sejatinya, keadilanlah yang digdaya membongkar doktrin-ekstrem yang membatu itu. Dinding karang kezaliman hanya bisa dihancurkan oleh tetes-lembut keadilan. Sejarah sendiri selalu menempatkan keadilan di atas kezaliman. Hal ini bisa disimak dalam kisah umat masa lalu yang diabadikan Tuhan.
Misalnya, “Dan tatkala Musa berkata kepada kaumnya: “Wahai kaumku, sesungguhnya kamu telah menganiaya jiwa kamu sendiri (zalim) dengan menjadikan anak sapi (sebagai sesembahan). Maka bertobatlah kepada Penciptamu, dan binasakanlah hawa nafsumu. Ini adalah yang paling baik bagi kamu terhadap Penciptamu. Maka Ia kembali kepadamu (dengan kasih sayang). Sesungguhnya Dia itu Yang berulang-ulang (kemurahan-Nya), Yang Maha Pengasih” (QS. al-Baqarah/2: 54).
Dalam Surat al-Nisaa/4: 40, Allah menyatakan senantiasa berbuat adil kepada manusia: “Sesunggunya Allah tidak bertindak zalim. (Kendati) seberat atom (dzarrah); dan jika yang mereka lakukan adalah perbuatan baik, maka Ia akan melipatgandakan (nilai perbuatan) itu, dan akan memberi, dari Dia sendiri, ganjaran yang besar”.
Dalam ayat lain: “Dan barang siapa mengerjakan perbuatan yang baik (amal saleh), dan ia dalam keadaan beriman maka ia tidak perlu khawatir akan mendapat perlakuan tidak adil (terhadapnya) dan tidak (pula) akan pengurangan hak-haknya” (QS. Thahaa/20: 112).
Allah memang Maha Adil. Keadilan-Nya mutlak tidak bisa ditolak. Keadilan-Nya dipastikan berlaku untuk semua. Ia tidak dipengaruhi oleh apapun dan siapapun ketika menjatuhkan keadilan. Bahkan Allah tetap Maha Adil walaupun tak satupun ayat menyebut kata al’Adl yang merujuk kepada sifat-Nya. Ia Maha Adil kendati sebagian orang beriman melarat dan yang menentang-Nya justru hidup enak.
Di dunia, bukti keadilan-Nya bukan pada susah atau senang, menang atau kalah, berkuasa atau tertindas, dihinakan atau dimuliakan. Tetapi, mengutip interpretasi George Gurvitch tentang justice, terletak pada the faithful realization of existing law as against any arbitrary infraction of it. Bagi kita, hukum yang harus dilaksanakan itu tak lain adalah al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah.
Untuk mengekspresikan keadilan, al-Qur’an tidak hanya menggunakan diksi, “al-‘Adl” dan derivasinya. Kata al-‘Adl sendiri sebagai kata benda hanya terulang sebanyak 14 kali. Bentuk lainnya, yakni 28 kali (bandingkan dengan kata “zalim” yang secara keseluruhan muncul 315 kali dalam al-Qur’an. Dan sesuai dengan konteks sosio-hostoris turunnya ayat dan fungsinya kini, istilah al-Qur’an yang maknanya senafas dengan al-‘Adl diutarakan sebagai berikut: Pertama, al-Qisth yang berarti adil.
Misalnya firman Allah dalam surat al-Maidah/5: 42: “…Dan jika kamu memutuskan perkara mereka, maka putuskanlah (perkara itu) di antara mereka dengan adil. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang adil”.
Ayat di atas merupakan petunjuk Allah kepada Rasulullah untuk menghadapi orang-orang Yahudi. Walaupun mereka sering menyakiti Nabi, tapi Allah tetap memerintahkan berlaku adil ketika memutuskan perkara mereka. Allah tidak menghendaki kebencian kepada suatu kelompok membuat hak-hak mereka terenggut dan diperlakukan secara tidak adil. Allah mempertegas, “…Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap suatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa…” (QS. al-Maidah/5: 8).
Dalam ayat lain, al-Qur;an juga menggunakan kata qisth untuk menggantikan adil dalam urusan ekonomi. Secara sederhana, batasan keadilan ekonomi yang dimaksudkan al-Qur’an adalah tentang keakuratan menakar dan menimbang yang hingga kini masih berlaku dalam jual-beli. Allah mengungkapkan hal ini dalam surat Huud/11: 85, yakni: “Dan Syu’aib berseru: “Hai kaumku, cukupkanlah takaran dan timbangan dengan adil, dan janganlah kamu merugikan manusia terhadap hak-hak mereka dan janganlah kamu membuat kejahatan di muka bumi dengan membuat kerusakan”.
Kedua, adil diekspresikan al-Qur’an dengan istilah bil-haqq yang diantaranya terdapat dalam suat Shaad/38: 22 dan 26. Kedua ayat tersebut menjelaskan tentang pemimpin yang adil yang direpresentasikan Nabi Daud. Dengan kata lain, keadilan selanjutnya yang dikehendaki al-Qur’an dengan menggunakan kata bil haqq adalah keadilan dalam hal kepemimpinan atau pemerintahan.
Allah katakan: “Hai Daud, sesungguhnya Kami menjadikan kamu khalifah (penguasa) di muka bumi, maka berilah keputusan (atas masalah-masalah yang timbul) di antara manusia itu dengan adil, janganlah kamu mengikuti hawa nafsu, karena dia akan menyesatkan kamu dari jalan Allah …”(QS. Shhad/38: 26).
Berdasar terminologi al-Qur’an, ketidakadilan disulut oleh hawa nafsu. Ciri pelakunya adalah zalim, menyimpang dari kebenaran (QS. Shaad/38:22), sesat, mendapat azab yang berat (di dunia dan akhirat), dan tidak lagi mengingat hari perhitungan atau akhirat (QS. Shaad/38: 26). Ayat seperti ini berlaku abadi sebagai peringatan bagi manusia.
Ketiga, al-Qur’an menggunakan kata “qawwaam” untuk menyatakan perilaku adil yang berkaitan dengan gaya hidup dan kebiasaan manusia. Misalnya dalam ayat 67 surat al-Furqan/25, Allah berfirman: “Dan orang-orang yang apabila membelanjakan (harta), mereka tidak berlebih-lebihan, dan tidak (pula) kikir, dan adalah (pembelanjaan itu) di tengah-tengah antara keduanya”.
Dalam konteks kekinian, ayat ini hendak menggugah agar kita menghindari perilaku boros, konsumerisme, hedonis, dan rakus. Kesanggupan untuk menahan hasyrat berpesta dan berpoya-poya termasuk perilaku adil. Adil karena bisa berperilaku seimbang (di tengah-tengah) dan memahami bahwa dalam harta yang dimiliki terdapat bagian mereka yang tak berpunya.
Mereka yang adil ketika menjadi kaya, maka kekayaannya tidak memiskinkan orang lain. Ketika memiliki kekuasaan, kekuasaan itu tidak diselewengkan. Sikapo adil bukan hanya berimplikasi positif bagi pelakunya, tapi merambah ranah orang lain.
Keempat, adil dalam al-Qur’an direpresentasikan dengan kata shadaqa, yang memiliki makna dasar “yang benar” atau “kebenaran”. Bila selama ini kita belum melakukan segala seuatu secara benar atau menurut ukuran kebenaran umum maka itu artinya kita belum berlaku secara adil. Sebab kebenaran selalu ada pada jalur keadilan, dan begitu pula sebaliknya.
Kenyataannya, sikap adil selalu membuahkan kebenaran. Kebenaran itu selanjutnya mendorong manusia untuk berbuat adil. Karena itu, kita baru akan mendapatkan keadilan bila kita sudah menapaki jalan kebenaran. Semoga*