siarandepok – Beberapa waktu terakhir ramai disebut bahwa Ibu Kota Nusantara (IKN) dicap sebagai ‘ghost city’ atau kota hantu.
Label kota hantu untuk IKN itu muncul dari media Inggris, The Guardian yang menerbitkan artikelnya berjudul “Indonesia’s new capital, Nusantara, in danger of becoming a ‘ghost city’” (Ibu kota baru Indonesia, Nusantara, terancam menjadi ‘kota hantu’) pada 29 Oktober 2025.
Menanggapi sebutan sebagai kota hantu, akademisi Profesor Sulfikar Amir mengakui pembangunan IKN memang banyak dipantau oleh media asing.
“Saya beberapa kali dikontak oleh mereka termasuk The Guardian ini kayaknya 2 tahun lalu atau setahun lalu, kemudian New York Times, Reuters, Bloomberg, mereka terus memantau apa yang terjadi dengan dinamikanya seperti apa,” ucap Sulfikar dalam podcast yang diunggah di kanal YouTube Bambang Widjojanto pada Kamis, 6 Oktober 2025.
“Khususnya media Eropa yang sangat concern dengan masalah lingkungan dan demokrasi,” imbuhnya.
Dua Isu yang Membuat Media Asing Soroti IKN
Sulfikar menyebut ada dua isu utama yang membuat media asing tersebut terus menyoroti proses pembangunan IKN, yakni lingkungan dan dampak yang diberikan kepada masyarakat sekitar.
“Buat mereka, kalau misalnya memang ada konsekuensi terhadap lingkungan dan terhadap masyarakat sekitar, mestinya itu diperhatikan secara matang,” ujarnya.
“Kemudian akhirnya bisa menghasilkan outcome yang membahagiakan semua orang,” tambahnya.
Menurutnya, dengan pembangunan IKN tersebut, seharusnya tak ada penduduk asli yang tersingkir hingga kerusakan lingkungan.
“Tapi, ternyata masyarakat tersingkir lalu lingkungannya juga pelan-pelan dirusak, cuma kemudian proyeknya sendiri terancam mangkrak. Artinya menjadi kota hantu,” tuturnya.
Lokasi IKN yang Tak Cocok Menjadi Kota
IKN yang seharusnya menjadi pusat pemerintahan Indonesia ternyata juga menyimpan praktik penambangan batu bara ilegal.
Polri telah mengamankan penambangan batu bara ilegal di wilayah Tahura Soeharto, Kabupaten Kutai Kartanegara yang menjadi bagian dari IKN.
Dengan penemuan tambang tersebut, kata Sulfkar makin membuat IKN sebenarnya tak cocok untuk dijadikan sebuah kota.
“Dia (IKN) udah jauh dari mana-mana, lalu dibangun di atas tanah yang di bawahnya ada potensi batu bara, dan kita belum bicara soal air,” jelas dosen Nanyang Technological University (NTU) Singapura itu.
“Mereka memang sudah menyediakan sarana air bersih lewat pembangunan, tapi kapasitas terbatas. Mungkin 10 persen dari target populasi seluruh IKN,” paparnya.
Pembangunan IKN yang Masuk Tahap II
Sementara itu, pembangunan tahap II IKN segera dimulai pada November 2025 dengan fokus pada kompleks legislatif dan yudikatif.
Kompleks perkantoran legislatif akan dibangun di lahan seluas 42 hektar dengan anggaran Rp8,5 triliun (2025–2027) yang mencakup Gedung Sidang Paripurna, Plaza Demokrasi, Serambi Musyawarah, Museum, dan gedung kerja lainnya.
Sementara kompleks yudikatif seluas 15 hektar dengan anggaran Rp3,1 triliun akan dibangun gedung Mahkamah Konstitusi, Komisi Yudisial, dan Mahkamah Agung.
Untuk proses pembangunannya, Basuki menjanjikan akan dilakukan lebih cepat dengan mengerahkan sekitar 20 ribu pekerja.
“Pasca Perpres 79, pembangunan fisik maupun non-fisik di IKN akan semakin masif,” ujar Kepala Otorita IKN Basuki Hadimuljono dikutip dari keterangannya dalam agenda Media Gathering di kantor Otorita IKN pada Kamis, 6 November 2025.
“Saat ini, sekitar 7.000 pekerja konstruksi tinggal di Hunian Pekerja Konstruksi (HPK). ada tahap kedua, jumlah pekerja diperkirakan mencapai 20.000 orang untuk mempercepat pembangunan IKN,” tukasnya.
Pembangunan IKN Tahap II ini dijanjikan akan selesai dalam kurun waktu 25 bulan.
***












