Oleh Dindin Machfudz,
Jurnalis Senior/Mantan Pengurus Pusat ISKI – Ikatan Sarjana Komunikasi Indonesia
HARI-HARI ini para Jurnalis dari berbagai pelosok negeri akan berkumpul di kota Kendari, Sulawesi Tenggara. Para Jurnalis profesional ini akan menghadiri perhelatan Akbar tahunan, yaitu Hari Pers Nasional yang puncaknya akan berlangsung pada 9 Februari 2022 hari ini. Presiden Joko Widodo akan hadir secara virtual dan memberikan sambutan.
Memperhatikan grafik Pers dunia dan dunia Pers kita yang pernah mendapat julukan atau gelar sebagai Ratu Dunia, Nyamuk Pers, Kuli Tinta, dan Pilar Demokrasi, serta merujuk kepada model komunikasi massa Lasswell yang terdiri dari Who, Say What, In Which Channel, To Whom, With What Effect (Harold Lasswell, 1948) dan Undang Undang No 40 tahun 1999 tentang Pers pasal 1 bahwa “Yang dimaksud dengan Pers adalah lembaga sosial dan wahana komunikasi massa yang melaksanakan kegiatan jurnalistik meliputi mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah dan menyampaikan informasi baik dalam.bentuk tulisan, suara dan gambar serta data dan grafik maupun dalam bentuk lainnya dengan menggunakan media cetak, media elektronik, dan segala jenis saluran yang tersedia”, bersama ini izinkan penulis menyampaikan beberapa catatan, yaitu :
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Pertama, adalah fakta bahwa sejumlah belasan atau puluhan media cetak di berbagai provinsi telah tumbang dan menghentikan penerbitannya dikarenakan kesulitan biaya operasional dan persaingan serta malas membaca. Dalam hal ini sebut saja koran Sinar Harapan, Suara Pembaruan, Tabloid Bola, Cek & Ricek, Tabloid Soccer, Jurnal Nasional, Sindo, Koran Tempo edisi Minggu, Pikiran Rakyat edisi Minggu, Majalah Hai, Majalah Femina, Reader Digest edisi Indonesia. Sementara media cetak yang tersisa pun oplahnya terus menciut dengan jumlah halaman menipis dari hari ke hari.
Kedua, media elektronik terutama televisi swasta, kini kian makmur dengan guyuran iklan dari dunia usaha atau produsen barang kebutuhan. Bayangkan saja, dari omzet Rp 182 triliun total belanja iklan tahun 2018, sebanyak 85% disedot oleh televisi. Sisanya disedot oleh media cetak dan radio serta situs. Nilai omzet iklan tersebut meningkat lagi menjadi Rp 229 Triliun tahun 2020, dan meningkat lagi menjadi Rp 259 Triliun pada tahun 2021 yang lalu. Menurut Nielsen Advertising Intelligent, kue iklan tersebut dibagi di antara 15 TV swasta, 98 koran, 65 majalah, 200 situs. Ada pun jenis iklan yang dominan adalah produk pemeliharaan rambut, kopi dan teh. Rupanya, masa pandemi covid 19 yang mendatangkan kemudaratan bagi banyak anggota masyarakat dengan jumlah orang miskin bertambah karena PHK dan kelesuan bisnis, serta jumlah korban wafat terus berjatuhan dari waktu ke waktu, bagi owner dan manajemen televisi swasta justru menjadi momentum menggiurkan untuk menambah pundi-pundinya. Rupanya banyak warga berdiam di rumah karena covid 19, kemudian menonton televisi untuk mencari hiburan, nonton film sinetron, komedian, musik ala Korea yang menampilkan wajah-wajah “glowing” bak kulit telur asin, kisah snobis selebritas dengan aneka hobi dan mobilnya. Dari berbagai penelitian komunikasi, memang diakui bahwa prioritas pertama khalayak menonton televisi siaran adalah untuk memuaskan hajat hiburannya (aspek entertaint) disusul untuk kepentingan hobinya, barulah mencari berita terkini.
Ketiga, menurut UU No 40 tahun 1999 tentang Pers khususnya pasal 3 ayat 1 bahwa fungsi dan peranan Pers adalah “Sebagai media informasi, pendidikan, hiburan dan kontrol sosial,” serta pasal 5 UU tersebut memerintahkan agar “Pers Nasional berkewajiban memberitakan peristiwa dan opini dengan menghormati norma-norma agama dan rasa kesusilaan masyarakat serta azas praduga tak bersalah.” Pertanyaannya kemudian, sudahkah Pers kita melaksanakan ketentuan dimaksud?
Di sinilah kita merasa kurang puas. Media massa kita, terutama televisi siaran masih belum berimbang, khususnya dalam hal porsi pemberitaan, opini, pemikiran dan aspirasi kelompok masyarakat yang berbeda dengan rezim penguasa. Media belum melaksanakan kaidah atau prinsip azali Jurnalistik global yang dinamakan cover both side dan berimbang serta tabayun atau check and Recheck secara afdol dan otentik. Lihat saja kasus pembunuhan pengawal Habib Riziek Shihab yang sama sekali nir-cover both side. Begitu juga dalam penangkapan dan persidangan Munarman yang sedang berlangsung di Pengadilan Negeri. Ke manakah para media Pers kita? Mereka mendadak raib dan ghoib alias nyaris tidak memberitakannya. Yang berarti Media Televisi telah melaksanakan suatu penggelapan atau menghilangkan berita dan peristiwa. Inilah yang membikin kita semua miris. Kedaulatan dan Kemerdekaan Pers telah tergadaikan. Hal ini persis pengulangan seperti saat berlangsung Reuni Akbar 212 tahun 2018 yang dahsyat dan fenomenal dan diliput oleh TV kelas dunia Al-Jazeera dan BBC, sementara TV Nasional kita “tiarap” alias “bobo”, kecuali TV One tentu saja. Memang Metro TV sempat menyiarkannya, tapi jumlah massanya didiskon menjadi ratusan ribu dari 7 – 10 juta massa Jamaah. Akibatnya massa pun mengusir sang reporternya dari Masjid Istiqlal.
Keempat, adalah sebuah realitas terjadinya persaingan antara media konvensional koran, tabloid, majalah, televisi dan radio di satu sisi, dengan media sosial seperti Youtube, streaming, instagram, facebook, selegram dan terakhir adalah Podcast di sisi yang lain. Dalam konteks ini disebut-sebut bahwa Podcast kiwari yang populer, independen dan kritis adalah milik Refly Harun dan Karni Ilyas. Sementara Podcast Deddy Carbouzi disebut sebagai Podcast Pro-Penguasa karena banyak obrolan dengan sejumlah Menteri dan tokoh dengan pertanyaan-pertanyaan Deddy yang dikategorikan “korek kuping”.
Lantas bagaimana mengukur keperkasaan antara media massa konvensional versus media sosial yang kreatif dan inovatif dalam hal efektivitas dampaknya terhadap publik audiens? Dalam hal ini pendapat para pakar Komunikasi terbelah.
Tapi alfa-omega sejarah membuktikan bahwa seruan Bung Tomo melalui corong radio menjelang pertempuran Surabaya 10 November 1945 telah memperlihatkan efek atau dampaknya yang dahsyat dan perkasa kepada masyarakat untuk berjihad dengan heroik melawan pasukan Sekutu pimpinan Inggris yang baru saja keluar sebagai pemenang Perang Dunia II di kawasan Asia Pasifik. Itu pertama. Kedua, adalah program Keluarga Berencana yang sukses menekan laju pertumbuhan penduduk di masa Orde Baru. Di masa Kemerdekaan atau Orde Lama dan Orde Baru, koran Indonesia Raya telah memperlihatkan “tajih”-nya dan independensinya yang membanggakan. Sayang, koran hebat itu harus terbunuh oleh pembreidelan rezim. Deretan pakar Komunikasi dan Peneliti kelompok efek media komunikasi massa ini perkasa antara lain Hadley Cantril yang menulis The Invasion of Mars (Wilbur Schramm, 1977), buku yang melegenda. Kedua adalah Institute for Propaganda Analysis. Rezim Nazi yang fasis adalah tokoh yang memanfaatkan secara maksimal bahkan berlebihan efek media massa dalam merekayasa sosial bangsanya. Ada pun pakar yang dapat dikelompokkan kepada kutub bahwa efek media massa itu seupil alias tidak signifikan adalah Elizabeth Noelle-Neumann. Menurut Neumann, penelitian efek media selama 40 tahun mengungkapkan kenyataan bahwa efek media massa tidak perlu diperhatikan. Efeknya tidak begitu berarti (Jalaluddin Rakhmat, Psikologi Komunikasi, 2008).
Kiwari boleh jadi media Pers kita keperkasaannya merosot atau bahkan mengalami impotensi. Trust, kredibilitas, dan wibawanya atau pamornya anjlok. Etos, logos, pathos Pers kita, demikian meminjam istilah filsuf Aristoteles dalam bukunya De Arte Rhetorica, telah ambyar. Publik lebih percaya dan nyaman mengikuti informasi-informasi dari media sosial, semisal Youtube dan Podcast kredibel ketimbang media konvensional yang tersandera.
Nah, di sinilah komunitas media Pers kita perlu introspeksi dan harus memiliki integritas moral dan integritas profesional dengan menjalankan motto abadi : Berpihaklah hanya kepada Kebenaran, Keadilan, HAM, Kemuliaan, dan nilai-nilai Demokrasi. **