Siarandepok.com – Direktorat Tindak Pidana Siber Bareskrim Polri menangkap seorang laki-laki karena diduga menyebarkan konten hoaks seolah-olah tangkapan layar (screenshot) percakapan antara dua pejabat negara yang merancang skenario kasus Kivlan Zen.
Kasubdit II Direktorat Tindak Pidana Siber Bareskrim Polri Kombes Rickynaldo Chairul menuturkan bahwa laki-laki tersebut berinisial YM (32). Ia ditangkap di rumahnya, di kawasan Bojongsari, Depok, Jawa Barat, pada Jumat (14/6/2019) dini hari.
“Dengan menyebarkan berita bohong tentang penyebaran konten hoaks berupa hasil capture seolah-olah percakapan WA antara dua pejabat negara,” ungkap Rickynaldo saat konferensi pers di Gedung Humas Mabes Polri, Jakarta Selatan, Jumat.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Sebagai informasi, mantan Kepala Staf Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat tersebut telah ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus dugaan kepemilikan senjata api ilegal dan pembunuhan berencana terhadap empat tokoh nasional dan seorang pimpinan lembaga survei.
Dalam hoaks yang disebarkan YM, tertulis narasi “Atas instruksi abang, kami sudah buat bang. Agar rakyat percaya bahwa yang melakukan tindakan makar si Kivlan dll untuk itu si iwab kami bayar lebih”.
Narasi itu dibalas dengan “Ok to terima kasih salam 01”. Diikuti dengan “Siap bang kami akan pantau perkembangan berikutnya”. Kemudian, dibalas lagi, “Jangan gegabah rakyat semakin pandai”.
Rickynaldo pun menegaskan bahwa percakapan seolah-olah antara Kapolri Jenderal Tito Karnavian dengan Menteri Kemaritiman Luhut Binsar Pandjaitan tersebut tidak benar.
Ia menegaskan bahwa penyidikan terhadap Kivlan dilakukan secara terbuka.
“Penyidikan terhadap tersangka Kivlan Zen sudah dilakukan secara terbuka, tidak ada rekayasa, tersangka juga dipenuhi haknya serta didampingi oleh pengacara dan pada saatnya nanti akan dilakukan persidangan secara terbuka,” ungkapnya.
Dari pelaku, penyidik menyita satu unit telepon genggam dan sebuah sim card.
Atas tindakannya, polisi menyangkakan Pasal 45 ayat 3 jo Pasal 27 ayat 3 Undang-undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik dan Pasal 14 ayat 2 dan/atau Pasal 15 UU Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana dan/atau Pasal 207 KUHP.
Ancaman hukuman maksimal yaitu 4 tahun penjara dan/atau denda paling banyak Rp 750 juta.
Sumber: Kompas
