Oleh: Dr. Syamsul Yakin, MA
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Rasulullah mengajarkan, bahwa puasa sejatinya mampu menimbulkan keinsafan batin yang lebih dalam pada diri manusia. Keinsafan batin dapat berupa kesadaran bahwa Allah begitu dekat, hadir, dan senantiasa memperhatikan gerak-gerak manusia. Keadaan hati seperti inilah yang disebut para sufi sebagai kenikmatan “pertemuan” dengan Allah. Suatu keadaan batin yang diperoleh melalui aktivitas rohaniah manusia. Salah satu aktivitas rohaniah yang bisa mengantarkan kita pada kesadaran akan kehadiran Tuhan saat ini adalah puasa. Ya, puasa yang sedang kita laksanakan.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Tetapi, entah sudah berapa kali banyaknya kita berpuasa, kesadaran ketuhanan kita masih saja dangkal. Puasa belum mampu membangkitkan semangat spiritual di dalam diri kita. Apakah benar puasa dapat membuahkan sikap mental yang paripurna, seperti kejujuran dan kebaikan, misalnya? Betapa strategisnya makna yang dikandung puasa saat ini. Di mana negeri ini menanti pribadi-pribadi yang amanah untuk mengurus dan mengelola bangsa yang sarat beban ini. Tetapi, sekali lagi, bisakah puasa kita membuahkan kejujuran, menghasilkan perilaku terpuji, dan menjauhi segala tipu-muslihat terhadap rakyat sendiri?
Dalam konteks berbangsa dan bernegara sekarang ini, puasa kita seyogianya bukan sekadar menjalankan rutinitas tahunan dan romantisme sahur, berbuka, dan tarawih. Lebih dari itu, kita harus mampu membentengi emosi dan ego yang bersarang di dalam diri kita. Kemudian bergerak mengoreksi ranah kehidupan sosial, ekonomi, panggung politik, lembaga pengadilan dan aparat keamanan, serta mereka yang memanggul amanah rakyat di lembaga legislatif dan eksekutif. Puasa, dengan demikian, mematikan potensi sebagai pembohong, pengkhianat, penipu, perampok, curang, dusta, sumpah palsu, manipulasi, dan memperjual-belikan hukum.
Sementara itu, di lapisan bawah, coba perhatikan kesemrawutan aparat birokrasi bisa dan biasa kita alami di setiap ranah kekuasaan, dari tingkat RT sampai presiden. Bukan lagi rahasia, semua hajat kita baru akan lancar jika disertakan di dalamnya (di bawah tangan) uang “imbalan”. Dan biasanya akan pendek umur pekerjaan atau posisi seorang pejabat yang berani bersikap adil, jujur, amanah, tegas, dan profesional. Di pompa bensin, pertokoan, atau ketika kita belanja lalu meminta daftar harga, penjaga toko langsung saja menawarkan kita, bon-nya mau ditulis berapa. Menyedihkan, bila kita harus membenarkan orang yang mengatakan bahwa kejujuran menjadi barang langka dan hanya ditemui di dalam kitab suci. Apa yang salah pada puasa kita? Mengapa kita belum juga mau sungguh-sungguh menjalankan perintah agama?
Rasulullah mengingatkan, “Sesungguhnya sifat benar membawa kepada kebaikan, kebaikan membawa ke surga. Sesungguhnya yang benar lagi jujur akan digelari Allah dengan siddiq. Sedangkan kebohongan membawa kepada perbuatan dosa, perbuatan dosa membawa pelakunya ke neraka. Laki-laki yang berbohong akan digelari Allah dengan kazzab (pembohong)” (HR. Bukhari-Muslim).
Betapa indahnya bila puasa kita telah membuahkan kejujuran, menyingkirkan ketamakan, dan mengedepankan keadilan untuk semua. Kecurigaan anak bangsa kepada penegak hukum seperti jaksa, pengacara, polisi, dan hakim seketika sirna. Karena puasa mereka tak lagi hampa makna, bukan sekedar berlapar-lapar dan dahaga saja tapi telah berbuah kejujuran dan akhlakul karimah. Termasuk kepada para pemimpin di tingkat legislatif dan eksekutif, mereka tak lagi menuai kritik dan goresan tinta hitam, karena telah menjalankan perkara-perkara kenegaraan secara adil, mengangkat pejabat sesuai dengan bidang keahliannya, tak lagi berdasarkanm kedekatan, kekerabatan, atau satu kelompok, partai atau golongan. Bahagia kiranya, bila puasa pemimpin kita berpuasa dapat melakukan pembelaan kepada mereka yang lemah, tertindas, miskin, dan menjadi korban euforia kebebasan dan demokrasi yang kebablasan. Bersyukur kita, bila Ramadhan tahun ini membuat mereka takut kepada peringatan Allah, “Pada hari ini Kami tutup mulut mereka; dan berkatalah kepada Kami tangan mereka dan memberi kesaksianlah kaki mereka terhadap yang dulu mereka usahakan” (QS. Yaasin/36: 65).
Bila semua komponen bangsa mampu memetik hikmah puasa setiap tahun, maka krisis berkepanjangan yang menerpa negeri ini lambat-laun bakal berakhir. Cukuplah pertikaian dan saling cakar antar kita menjadi cerita masa lalu yang tak terulangi di masa depan. Saatnya momentum puasa kita jadikan sebagai sarana konsolidasi, rekonsiliasi dan kerja sama membangun puing-puing keretakan akibat mengedepankan egoisme, kesesatan, dan dendam. Puasa harus mampu membangun peradaban yang gilang-gemilang, yang berlandaskan kepada keadilan, kejujuran, dan kebenaran. Inilah yang dinamakan peradaban takwa, berawal dari puasa.
Sabda Nabi Muhammad, dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Ahmad, ihwal tiga bentuk siksaan, patut kiranya menjadi renungan kita sebagai anak bangsa: “Sesungguhnya aku memohon kepada Allah tiga hal. Dua permohonanku diterima dan yang satu ditolak. Aku memohon agar umatku tidak hancur oleh bencana alam, permohonanku diterima; aku memohon agar umatku tidak hancur oleh musuh-musuhnya, permohonanku pun diterima; dan aku memohon agar mereka tidak hancur oleh keganasan sesama mereka, permintaanku ditolak”.
Dengan puasa Ramadhan, dimana semua doa diterima kita mohon agar negeri ini tidak kembali tercabik oleh pertikian antar kita. Semoga Allah menerima doa kita. Aaamin *
