Oleh: Dr. Syamsul Yakin, MA
Pengasuh Pondok Pesantren Madinatul Qur’an Indonesia Kota Depok
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Paham kebendaan begitu rapat menyelimuti kehidupan kita. Buktinya, ketika media massa memberitakan daya saing Indonesia di pentas dunia melorot pada urutan ke-69 dari 107 negara, seolah rakyat di seantero negeri ikut terpelanting ke dunia yang asing.
Namun, manakala marak diberitakan bahwa daya saing bangsa ini meninggi, menduduki peringkat ke-50 dari 125 negara, semua anak negeri kembali percaya diri dan merasa bertengger di ketinggian.
Layaknya balita yang infantilis, kita begitu menyukai pujian, ketinggian, dan segala sesuatu yang tinggi, mewah, dan megah, baik secara ruang maupun urutan. Mengapa demikian?
Sadar maupun tidak, ini merupakan bagian dari fenomena the hollowman atau manusia kosong. Yakni, manusia yang disentuh modernitas secara fisik, tetapi secara metafisik-spiritual mengalami kehampaan makna hidup. Di seluruh dunia, indikasinya seragam: mencintai ketinggian dan sekaligus takut di tengah ketinggian, merasa kesepian di tengah dunia yang bising.
Penyebabnya, antara lain, tak kuasanya manusia mengimbangi transformasi sosial dengan tameng spiritual, pola-hubungan antarmanusia tak lagi atas dasar cinta, tetapi kepentingan dan kebutuhan. Di samping itu, dunia kian menjadi desa global dan melebur masyarakat tradisional menjadi tran-nasional, masyarakat homogen menjadi heterogen, dan stabilitas sosial yang digantikan oleh mobilitas sosial.
Ketika kondisi ini mendera, bukanlah apologetik, bila formula spiritual kembali kita kedepankan. Tepatnya, menelusuri secara mendalam makna transendental dan imanen ihwal pernyataan Allah yang mendeklarasikan diri sebagai Yang Maha Tinggi atau Al-‘Aliy. Alasannya, dari sebelas kata al-‘Aliy yang muncul dalam al-Qur’an, ada dua di antaranya merujuk sebagai sifat yang dianugerahkan Allah kepada manusia.
Dalam konteks Indonesia, itu artinya kita memiliki potensi keilahian sehingga bisa berdiri secara tegak-kokoh, mandiri, bermartabat, tak selamanya mengekor dan menggantungkan hidup kepada bangsa lain. Upaya ini, lekat relevansinya bagi kita untuk membangun negeri melalui tangan dan ilham para manusia unggul. Hanya saja, apakah al-‘Aliy itu dan seperti apa spektrum makna holistiknya?
Secara bahasa, al’Aliy berarti “ketinggian, menaklukkan, dan mengalahkan”. Memang sesuatu yang lebih tinggi, dalam konteks apa saja, bisa dengan mudah menaklukkan dan mengalahkan yang lebih rendah, miskin, bodoh, lemah, dan terbelakang. Lebih jauh “ketinggian” mengandung konsep kenaikan, kekuatan, kesejahteraan, dan tak tertandingi.
Dalam bahasa Arab, kata yang memiliki derivasi sama dengan al-‘Aliy adalah al-‘Ala, al-‘Aaliy, dan al-Muta’aliy. Ketiganya masing-masing berarti Yang Paling Tinggi, Yang Tinggi, dan Yang Maha Tinggi. Dan kata ta’ala yang menjadi sifat Allah di belakang nama-Nya, diartikan sebagai Maha Agung yang pujian seperti apapun tidak bisa mewakilinya karena Allah tidak ada yang lebih tinggi dari-Nya.
Ketika al-‘Aliy disandingkan sebagai sifat yang melekat kepada Allah, maka itu berarti Allah Maha Tinggi yang di atasnya tidak ada derajat lain. Ketinggian Allah melampaui batas-batas materi, tidak bisa diukur, dibayangkan, dan diverifikasi. Dengan begitu ketinggian Allah berbeda dengan tingginya gunung, bintang-gemintang di angkasa, akal dan ilmu pengetahuan manusia, apalagi kedudukan dan kekuasaan manusia yang tinggi.
Mengapa? Karena ketinggian Allah berasal dari diri-Nya sendiri, bereksistensi di dalam diri-Nya sendiri, tidak ada nisbah yang layak diperbandingkan dengan ketinggian-Nya. Termasuk, Allah tidak menempati tempat yang tinggi (‘Arasy), seperti sangka sebagian orang. ‘Arasy hanyalah tempat tertinggi yang Allah ciptakan dan dicitrakan penuh kesucian.
Al-Qur’an menunjukkan, kata al-‘Aliy yang merujuk sebagai sifat Allah berangkaian dengan sifat lainnya seperti al-Kabir (Maha Besar), al-Adzim (Maha Agung), dan al-Hakim (Maha Bijaksana). Hal ini mengisyaratkan bahwa ketinggian Allah itu meliputi kebesaran dan keagungan segala sesuatu. Suatu sifat yang integral dan tidak saling bertentangan tapi menyempurnakan.
Selain itu, kendati Allah satu-satunya Yang Maha Tinggi, Maha Besar, dan Maha Agung, tetapi justru ketinggian derajat Allah itu dibalut dengan kebijaksanaan-Nya kepada semua makhluk. Berbeda dengan manusia, seringkali ketinggian, kebesaran, dan keagungan yang dimiliki justru membuat sesamanya jadi rendah, marjinal, dan terpental.
Namun al-Qur’an juga mengabadikan manusia yang oleh Allah dianugerahkan sifat yang penuh ketinggian. Pemahaman kita terhadap hal ini tentu bisa bersegi banyak.
Misalnya, manusia dikatakan memiliki sifat al-’Aliy karena dikaitkan dengan pengabdiannya dalam membuat rakyat merdeka, makmur, sejahtera, dan terjamin hak-hak hidup dan keamanannya. Inilah karakteristik pemimpin ideal dan beroleh derajat al-‘Aliy. Al-Qur’an menyebut Nabi Idris dan Nabi Ibrahim sebagai manusia yang berhak menempati kedudukan tinggi.
Allah katakan, “Dan Kami mengangkatnya (Nabi Idris) ke tempat yang tinggi” (QS Maryam/19: 57). Dan ayat yang berkaitan dengan ketinggian Nabi Ibrahim adalah, “Dan Kami anugerahkan kepada mereka sebagian dari rahmat Kami dan Kami jadikan mereka buah-tutur yang baik lagi tinggi” (QS Maryam/19: 50).
Lebih jauh, tentang spektrum makna holistik al’Aliy dalam pandangan al-Qur’an terkait-erat dengan beragam persoalan. Semua itu merupakan refleksi sifat Allah sebagai al-‘Aliy yang harus diteladani manusia. Pertama, untuk menjadi pribadi dengan predikat tertinggi haruslah berjiwa besar, tidak mudah menyerah, berpantang mengaduh dan mengeluh serta mendedikasikan diri untuk melakukan perbaikan dan kebaikan. Karakteristik seperti inilah yang Allah informasikan dalam al-Qur’an.
Misalnya: “Kepunyaan-Nya lah apa yang ada di langit dan di bumi. Dialah Yang Maha Tinggi lagi Maha Besar. (QS al-Syuura/42: 4). “Allah tidak merasa berat memelihara keduanya, dan Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar” (QS al-Baqarah/2: 255). Fragmen pernyataan Allah ini sejatinya mampu menggugah kita untuk tetap bersemangat melakukan perbaikan di tengah kondisi yang tak kunjung membaik.
Kedua, pesan Allah sebagai al-‘Aliy kepada manusia, khususnya bangsa kita, adalah agar kita berani untuk menciptakan karya spektakuler. Hal ini penting, mengingat bangsa yang dianggap besar adalah mereka yang sungguh-sungguh bekerja keras dan bekerja sama melakukan pembangunan dalam segala bidang, baik fisik maupun mental. Kuncinya adalah: selama ini kita memang sudah sama-sama bekerja tetapi belum bekerja sama.
Keberhasilan bangsa kita di pentas global baru berhasil apabila kita melakukan kedua formula itu. Sungguh, betapa tercengangnya kita ketika Allah katakan, “Sesungguhnya Tuhan kamu adalah Tuhan yang menciptakan langit dan bumi dalam enam masa, kemudian dia bersemayam di atas ‘Arasy untuk mengatur segala macam” (QS Yunus/10: 3). “Allah lah yang menciptakan langit tanpa tiang (seperti) yang kamu lihat, kemudian Dia bersemayam di atas ‘Arasy” (QS al-Ra’d/13: 2).
Ketiga, salah satu kendala utama dan menjadi musuh bersama bangsa kita adalah kemiskinan, kebodohan, merasa pandai, dan mudah bertikai. Perilaku seperti ini mengandung potensi yang justru membuat lemah, dipandang remeh, menghilangkan kepercayaan bangsa lain. Karena itu salah satu makna imanen al-‘Aliy adalah mengembalikan martabat bangsa dengan memperbaikai berbagai infrastruktur dan suprastruktur yang mendukung bangsa ini menjadi tinggi, agung, dan memiliki kekuatan sehingga kita bisa mengalahkan musuh bersama sekaligus “membuat takluk dan takut bangsa lain”.
Dalam al-Qur’an kata al-‘Aliy berangkaian dengan tema-tema di atas, misalnya: “Dialah Allah yang Maha Esa lagi Maha Mengalahkan” (QS al-Zumar/39: 4). “Mereka takut kepada Tuhan mereka yang di atas mereka dan melakukan apa yang diperintahkan (kepada mereka)” (QS al-Nahl/16: 50).
Saatnya kita menghancuran doktrin materialisme yang membatu. Pun, berhentilah tersipu manakala kita dipuja atau mengaduh ketika jatuh. Peragakanlah sifat-sifat Allah di muka bumi agar kita menjadi Abd al-‘Aliy. Yakni, hamba Allah yang menyadari kerendahan dirinya dan percaya bahwa cita-cita tertinggi manusia adalah menjadi hamba Allah yang dianugerahi oleh-Nya ketinggian.*
