Hikmah Puasa Hari Ke-25
Kendati tidak memiliki sandaran tekstual dan teologis yang jelas, mudik tetap menjadi migrasi terbesar penduduk negeri ini menjelang hari raya.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Bahkan mudik tidak pernah membuat seseorang takut walaupun menempuh perjalanan penuh resiko. Seperti terjadinya kecelakaan lalulintas dan korban jiwa, semerautnya pelayanan angkutan umum kelas ekonomi, membengkaknya harga tiket akibat calo dan toeslag, hingga menjaga ekstra ketat barang bawaan dari pencoleng.
Tentunya, di bagian akhir Ramadhan ini, mudik bukanlah sekadar pulang kampung. Mudik bukan pula milik mereka yang selama ini pergi lama meninggalkan orangtua, sanak-saudara, dan kampung halaman tercinta.
Kita semua memiliki kesempatan untuk melakukan mudik, termasuk penduduk asli yang telah menetap bertahun-tahun. Yakni, mudik ruhani atau mempersiapkan perjalanan menuju kehidupan hakiki. Kembali ke kampung halaman sebenarnya.
Sebagai pribadi, mudik yang diperlukan adalah kembali berperilaku ramah, amanah, tanggung jawab, sabar, penuh cinta-kasih, dan mau bersatu dan disatukan dengan orang lain.
Nabi bersabda: “Pribadi mukmin itu, mau dijalin dan menjalin, tiada kebaikan bagi orang yang tidak mau menjalin dan dijalin. Sementara orang terbaik adalah yang paling bermanfaat bagi manusia” (HR. Daruquthni).
Saudaraku, sudahkah kita mempersiapkan mudik ruhani, sebuah perjalanan menuju keabadian untuk menggapai ridha dan cinta-Nya?
Bila sudah, mari terus kita tingkatkan. Bagi yang belum, jadikan hari-hari yang tersisa ini untuk mempersiapkannya. Kembalikan diri kita sesuai dengan panggilan nurani. Mudiklah kemana nurani membawa kita. Kalau dahulu kita adalah pribadi suci-bersih tanpa dosa, maka ketika kembali pun kita harus seperti sedia kala.
Sebagai keluarga, mudik yang diperlukan adalah mudik agar keluarga bisa menggapai hidup bahagia. Untuk mendapatkannya, maka keluarga kita harus memegang teguh peran dan kewajiban masing-masing. Sebagai orangtua, kita terus khawatir agar kelak tidak meninggalkan generasi yang lemah, baik lemah fisik, ilmu, apalagi akidah.
Sebagai anak, seyogianya kita sadar bahwa ayah-bunda telah bersusah payah mengandung, melahirkan, membesarkan, dan mendidik kita dengan kasih sayang. Kapan lagi kita bisa berbuat baik kepada mereka, kalau bukan kini dan di sini (di dunia).
Saudaraku, marilah kita perhatikan bimbingan Allah berikut ini: “Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan bebatuan” (QS. al-Tahrim/66: 6).
Dalam konteks berbangsa dan bernegara, mudik hendaknya dimaknai sebagai momentum untuk mengembalikan hak-hak sesama. Pemimpin harus memudikkan hati dan pikirannya bahwa selama ini rakyat telah mempercayainya untuk memperbaiki negeri ini.
Rakyat juga rela berkorban untuk memfasilitasi pemimpin dengan memberikan kebutuhan baik sandang, pangan, maupun papan. Karena itu jangan sakiti hati masyarakat di negeri ini. “Barangsiapa menyakiti orang Muslim, kata Nabi SAW, berarti ia telah menyakiti hatiku, dan barang siapa menyakiti hatiku berarti ia menyakiti Allah”.
Sebagai rakyat, sebaiknya kita tidak hanya pandai menuntut. Tetapi kita juga harus memiliki semangat untuk berbuat, bekerja, dan berkarya. Sambil terus bekerja, sedianya kita syukuri semua yang sudah dilakukan pemimpin kita.
Kita percaya Allah pasti akan menolong kita dan memudikkan hati nurani pemimpin dan rakyat negeri ini secara adi kodrati. Seperti “asal semula jadi”, istilah jiran kita Malaysia***