Sunyi dan getir. Hanya bacaan Yasin yang lirih dan terbata. Dari ibu-ibu biasa dan sederhana.
Anak-anak si mayit menangis tanpa air mata. Namun wajahnya menunjukkan perih yang menyayat jiwa. Putus asa dan bingung. Kursi-kursi terpasang tak beraturan. Pelayat yang datang satu dua. Sepi.
Tidak ada pejabat. Apalagi pejabat tinggi. Tidak ada kyai terkenal. Entah tokoh masyarakat. Tidak ada kumpulan aktifis berkerumun. Yang nampak berkerumun hanya beberapa Ibu-ibu biasa. Mempersiapkan keperluan pengurusan si mayit. Tanpa suara. Sunyi.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Di masjid. Sambutan pengantar salat jenazah disampaikan datar. Tanpa retorika. Sedikit sekali basa basi. Belasan orang yang hadir. Ketika jenazah menuju pemakaman. Jumlah pengantar semakin sedikit. Tak ada sirine nguing nguing. Tak ada motor pengiring.
Menjelang isya. Taziah di mulai. Tahlil dan doa untuk mayit. Tanpa tausiyah. Makanan ringan keluar. Kacang dan keripik. Air mineral diletakkan jarang jarang. Di alas tiker dan karpet usang.
Taziah selesai. Rumah kecil sohibul musibah sepi dan dingin kembali. Hujan yang tak henti membuat menggigil tubuh-tubuh yatim yang baru saja ditinggal ayah mereka yg pakir. Kini bukan saja status miskin tersemat. Tetapi miskin dan yatim. Kehidupan yang pedih akan semakin perih.
Getir.
Tuhan.
Ampuni saya.
Ampuni kami.
(Khairullah Akhyari)