Oleh: Dr.KH. Syamsul Yakin, MA
(Pengasuh Pesantren Darul Akhyar, Parung Bingung, Depok)
Syaikh al-Zarnuji dalam Taklim Muta’allim mengutip perkataan Ali Ibn Abi Thalib tentang tiga kriteria manusia. Yakni, manusia sempurna, setengah manusia, dan manusia tak berguna. Kriteria ini dibuat untuk membedakan orang yang mempunyai pendapat yang benar dan bersedia bermusyawarah.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Pertama, manusia sempurna adalah orang yang memiliki pendapat yang benar dan bersedia bermusyawarah. Seperti apakah pendapat yang benar itu? Tentu pendapat yang benar adalah yang tidak bertentangan dengan al-Qur’an dan al-Sunnah. Menurut Imam Syafi’i dalam Manaqib al-Syafi’i, pendapat yang seperti itu wajib untuk diikuti.
Tentang validitas dan otentisitas al-Qur’an dan al-Sunnah sebagai dasar pendapat yang benar, Allah SWT tegaskan, “Dan tidaklah yang diucapkannya itu (al-Qur’an) menurut hawa nafsunya. Ucapan itu tidak lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya)” (QS. al-Najm/53: 3-5).
Begitu juga firman Allah, “Seandainya dia (Muhammad) mengadakan sebagian perkataan atas (nama) Kami, niscaya benar-benar Kami pegang dia pada tangan kanannya. Kemudian benar-benar Kami potong urat tali jantungnya” (QS. al-Haqqah/69: 54-56). Demikian juga, “Apa yang dibawa rasul kepada kalian, maka ambillah …”(QS. al-Hasyr/59: 7).
Kedua, setengah manusia adalah orang yang memiliki pendapat yang benar namun tidak bersedia bermusyawarah, atau mau bermusyawarah namun tidak memiliki pendapat yang benar. Ketiga, bukan manusia adalah orang yang tidak
memiliki pendapat dan tidak bersedia bermusyawarah.
Terkait musyawarah, Allah berfirman, “…Karena itu maafkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya” (Q.S. Alu Imran/3:159).
Dalam firman-Nya yang lain. ”Dan (bagi) orang-orang yang menerima (mematuhi) seruan Tuhannya dan mendirikan salat, sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarah antara mereka; dan menafkahkan sebagian dari rizki yang Kami berikan kepada mereka” (Q.S. al-Syura/42:38).
Menurut Muhammad Asad dalam The Principle of State and Government in Islam ayat ke-159 surat Alu Imran di atas terkait perang Uhud. Para sahabat memberi pendapat supaya Nabi keluar menentang orang-orang Quraiys di luar Madinah, dan Nabi mengikuti. Tapi ternyata, setelah peperangan usai strategi yang benar adalah yang Nabi kemukakan
Namun, menurut Muhammad Asad, ayat ini turun dalam rangka mempertegas keharusan untuk melakukan musyawarah dalam semua masalah yang harus dimusyawarahkan, kendati harus berbeda dengan Nabi sekalipun. Jadi, kian jelas bahwa musyawarah merupakan salah satu prinsip dasar politik Islam.
Sedangkan surat al-Syura/42:38), menurut Dhiauddin Rais dalam al-Nadzriyat al-Siyasiyyat al-Islamiyyah, disebutkan bahwa Allah menerangkan tentang sifat-sifat yang membedakan orang mukmin dengan yang lainnya. Orang mukmin salah satu ciri khasnya adalah bermusyawarah dengan yang lainnya.
Musyawarah disebutkan setelah perintah salat dan sebelum zakat menunjukkan betapa pentingnya musyawarah. Sebab turunnya ayat ini, lanjut Dhiauddin Rais, adalah karena masalah khusus, yaitu untuk memuji kaum Anshar yang mengikuti sunnah untuk bermusyawarah. Tapi hukum yang dapat diambil dari ayat ini bersifat umum dan meliputi seluruh umat.
Perintah musyawarah sebenarnya sejalan dengan pandangan al-Qur’an sendiri bahwa manusia mempunyai potensi untuk bersatu dan disatukan dalam mencapai kebenaran. Al-Qur’an menggambarkan potensi manusia untuk bersatu atau berserikat tersebut sebagai berikut: ”Manusia itu adalah umat yang satu” (QS. al-Baqarah/2:213).
Dalam ayat lain, ”Hai manusia, sesungguhnya kami ciptakan kamu dari seorang laki-laki dan perempuan, dan Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal. Sesungguhnya yang paling mulia di sisi Allah adalah orang yang paling takwa di antara kamu” (QS. Hujurat/49:13).
Tentang potensi manusia untuk berserikat dan berkumpul, Allah berfirman, ”Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai-berai, dan ingatlah akan nikmat Allah kepadamu ketika kamu dahulu (masa Jahiliah) bermusuh-musuhan…” (QS. Alu Imran/3:103).