Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia Eddy Ganefo mendorong agar pelaku usaha yang tarafnya masih koperasi untuk berekspansi menjadi korporasi. Ekspansi seperti itu diperlukan agar pelaku usaha dalam negeri bisa semakin kuat dan meningkatkan daya saing dengan perusahaan lain dari luar negeri.
“Koperasi hari ini harus berkembang menjadi korporasi agar dapat bersaing secara global, menjadi koperasi yang berhasil transformasi jadi badan usaha berdaya saing tinggi,” kata Eddy di Kadin Indonesia. Senin (17/12).
Menurutnya masih belum ada data yang cukup, secara kasat mata, bisa dilihat inovasi di koperasi itu rendah. Sebutlah beberapa hal mulai dari pola pelayanan, teknologi yang digunakan, jenis layanan atau produk, branding dan berbagai detail lainnya. Sayangnya, hal itu sudah berjalan menahun, bahkan puluhan tahun lalu. Hasilnya, jumlah koperasi berikut anggotanya banyak, mencapai 26 juta orang, namun kontribusinya rendah terhadap Produk Domestik Bruto (PDB), yakni di angka 4,48 persen (Kementerian Koperasi, 2018).
“Di sisi lain secara kualitatif bisa kita lihat model lembaga dan bisnis koperasi yang melulu itu-itu saja. Sampai-sampai seolah tak ada imajinasi lain, ketika komunitas ingin bikin koperasi, itu sama dengan membuat koperasi simpan pinjam,” jelasnya.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Nyatanya menurut Eddy, model itulah yang massif di tengah masyarakat. Ironisnya, keterbatasan inovasi itu tak hanya terjadi di koperasi masyarakat, namun juga di kalangan koperasi pemuda atau mahasiswa. Seolah tak ada model bisnis lain kecuali membuka toko, jasa foto kopi dan kantin di kampusnya. Dan itu juga sudah terjadi puluhan tahun yang lalu.
“Bagi orang koperasi akan paham persis bahwa gerakan ini tengah mengalami defisit jenius kreatif. Sebaliknya, para jenius kreatif itu banyak lahir di luar sana, bahkan bisa dibilang surplus. Tengoklah ribuan anak muda yang bergiat merintis aneka startup. Hal itu menjadi prestasi tersendiri, misalnya, Startuprangking.com mencatat Indonesia masuk pada peringkat ke lima dengan jumlah startup 1969 buah. Peringkat pertama diduduki oleh Amerika, disusul India, Inggris dan Kanada,” tuturnya.
Tercatat paling tidak ada 100 koperasi besar di Indonesia. Yang dimaksud besar tentu saja bila asetnya di atas 50 milyar. Dan 100 koperasi besar yang profilnya dapat disimak di buku 100 Koperasi Besar Indonesia, asetnya bahkan sampai triliun rupiah. Namun bila kita tengok, model bisnis yang dikembangkan masih juga sama dengan lima atau sepuluh tahun yang lalu. Sama-sama model konvensional.
Eddy mengatakan, di era 4.0 saat ini sebagian koperasi perlu dikembangkan layanan online. Dengan cara begitu kita bisa merespon Revolusi Industri 4.0 dengan tangkas.
“Targetnya yakni lakukan modernisasi agar pengelolaan lebih optimal. Konkretnya seperti tata kelola koperasi berbasis online untuk membangun good co-operative governance. Selaras dengan itu dapat dikembangkan cashless zone di area atau regional tertentu. Pola integrasi dan interkoneksi layanan antar koperasi akan menjadi daya ungkit bagi fee based services. Sedangkan pada disruptive model, Hub bisa kembangkan model-model yang sama sekali baru di Indonesia. Sebutlah seperti model worker co-op atau koperasi pekerja, startup co-op atau koperasi startup, platform co-op atau koperasi platform, social co-op atau koperasi sosial dan community co-op atau koperasi komunitas. Pada model ini akan banyak beririsan dengan ekosistem besar ekonomi kreatif dan generasi milenial,” tukas Eddy. (FKV)

