Hikmah Puasa Hari Ke-22
Oleh: Dr. Syamsul Yakin, MA
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Pengasuh Pondok Pesantren Madinatul Qur’an Indonesia Kota Depok
dan Dosen Pascasarjana FIDKOM UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Dalam riwayat Aisyah ra, Rasulullah SAW bersabda: “Tidak ada iktikaf tanpa puasa”. Jadi iktikaf sangat ditekankan oleh Nabi kepada umatnya dalam bulan puasa. Iktikaf yang dimaksud, dilakukan Nabi dengan meninggalkan keluarga untuk berdiam diri di masjid (QS. al-Baqarah/2: 187).

Masalahnya, kalau Nabi saja melakukan iktikaf dan meramaikan masjid, mengapa masjid di tempat kita saat ini kian sepi, malah banyak ditinggalkan orang?
Secara bahasa, iktikaf itu berarti berdiam diri di masjid. Iktikaf dimaksudkan untuk mengosongkan semua urusan keduniaan dan berkonsenterasi sepenuhnya kepada Allah SWT. Tujuan tertinggi dari iktikaf tak lain agar seseorang bisa menyingkap hakikat kemanusiaan dan ketuhanan. Dengan demikian iktikaf disebut juga khalwat Rabbaniyah (keinginan menyendiri bersama Tuhan).
Berdasarkan hadits yang bersumber dari Ibnu Umar, Nabi SAW melakukan iktikaf pada sepuluh hari terakhir pada bulan Ramadhan. Hadits yang terdapat dalam kitab shahih Bukhari dan Muslim ini dipertegas oleh Aisyah yang mengatakan: “Rasulullah SAW beriktikaf dalam sepuluh hari terakhir pada bulan Ramadhan hingga Allah memanggilnya” (HR. Bukhari dan Muslim).
Sebenarnya berdiam diri di tempat suci untuk berkontempelasi tidak hanya dilakukan Nabi SAW. Allah berfirman: “Dan telah Kami perintahkan kepada Ibrahim dan Ismail, ‘Bersihkanlah rumah-Ku bagi orang-orang yang thawaf, iktikaf, ruku’ dan sujud” (QS. al-Baqarah/2: 125).
Nabi Ibrahim sendiri berhasil “menemukan” Tuhan setelah ia menyepi dan berkonsenterasi. Rangkaian pencarian Nabi Ibrahim menyingkap tabir kebenaran, berawal dari memperhatikan alam, matahari, bulan, dan ciptaan-Nya. Hingga akhirnya ia memahami bahwa ada yang menguasai dan mengatur alam, manusia, dan pergantian siang dan malam.
Inilah fragmen al-Qur’an itu: “Ketika malam gelap mulai menyelimuti alam raya, Ibrahim melihat bintang-gemintang di langit. Beliau lantas berkata, ‘inilah tuhanku’. Namun tidak berselang lama, bintang itu lenyap ditelan awan. Beliau lalu berucap, ‘aku tidak menyukai tuhan yang lenyap dan hilang’. Setelah itu, datanglah rembulan yang bersinar cukup terang. Ibrahim berkata, ‘inilah tuhanku’. Namun rembulan itupun akhirnya lenyap. Melihat hal itu, Ibrahim kemudian berkata, ‘kalau Tuhan tidak memberikan petunjuk-Nya kepadaku, niscaya aku termasuk orang-orang yang zalim’.
Esok harinya, Ibrahim melihat matahari yang bersinar sangat terik dan panas, melebihi cahaya rembulan. Ia lalu berujar, ‘inilah tuhanku, karena ia jauh lebih besar’. Namun di sore hari, matahari itu pun menghilang. Setelah menyaksikan fenomena itu Ibrahim akhirnya berkata, ‘wahai kaumku, sesungguhnya aku berlepas diri dari segala yang kalian persekutukan” (QS. al-An’am/6: 76-78).
Kini saatnya untuk iktikaf. Mari kita raih petunjuk Ilahi. Mohon agar diri kita dibersihkan. Minta agar kita tidak dibiarkan begitu saja tersesat dalam keadaan tidak menyadarinya. Selama ini, hasyrat kita masih bercampur nafsu. Dalam iktikaf kita minta agar semua hasyrat disucikan, tidak membuat kita terlena, dan semua ibadah kita diterima.
”Ya Allah, bila Engkau tidak beri kepada kami petunjuk-Mu, maka pasti kami termasuk orang yang zalim. Ya Allah, takdirkan kami termasuk orang mendapat petunjuk-Mu”.***
