Hikmah Puasa Hari Ke-17
Oleh: Dr. Syamsul Yakin, MA
Pengasuh Pondok Pesantren Madinatul Qur’an Indonesia Kota Depok
dan Dosen Pascasarjana FIDKOM UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Ketika Ramadhan tiba, masyarakat Arab pra-Islam menyambutnya dengan penuh gairah. Mereka menjadikan Ramadhan sebagai bulan latihan untuk menguji kekuatan fisik di tengah matahari yang begitu terik. Seperti makna dasarnya, “ramadhan” yang berarti “panas membakar”, menandai mereka untuk berlatih tempur di tengah gurun.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Harapan mereka, bila di bulan “panas membakar” itu mereka bisa berlatih-tempur dengan baik, maka di bulan lain bisa dipastikan mereka akan digdaya mengalahkan musuh yang berasal dari suku atau kabilah lain.
Parameter ini, dalam batasan yang hampir sama tetapi dengan tujuan yang sangat berbeda terus berlaku di tengah masyarakat Arab pada masa Islam. Ramadhan tetap berarti bulan yang terik-menyengat, di dalamnya kaum muslim berlatih, tapi bukan untuk bertempur di medan laga melawan musuh di bulan lain. Tetapi untuk tujuan yang bersifat holistik, yakni medis-psikologis dan metafisik-spiritual.
Dalam masa Islam “semangat” itu terus tumbuh. Misalnya, seperti terukir indah dalam sejarah Islam, bahwa pada bulan Ramadhan banyak peristiwa spektakuler dan heroisme terjadi.
Misalnya, pada tanggal 17 Ramadhan Nabi SAW untuk pertama kali menerima wahyu di Gua Hiro dan untuk pertama kali pula pecah perang Badar di mana kaum Muslim memperoleh kemenangan pada tanggal 17 Ramadhan tahun ke-2 H. Lalu, pembebasan kota Mekah yang dikenal dengan Fathu Makkah terjadi pada tanggal 10 Ramadhan tahun ke-8 H.
Begitu pula perang terakhir yang diikuti Nabi, yakni Perang Tabuk terjadi pada Ramadhan 9 H. Episode selanjutnya, kaum Muslim berhasil menaklukkan Hulaghu Khan pada 15 Ramadhan 658 H.
Termasuk penaklukan Romawi dalam Perang Buwaib pun terjadi pada Ramadhan 13 H. Pada Ramadhan 91 H, kaum Muslim pun berhasil merebut kota Andalusia, kini Spanyol, dan setahun kemudian Thariq bin Ziyad mengalahkan Roderick, panglima kaum Salib. Dan masih banyak lagi, termasuk kemerdekaan negeri ini dari bangsa penjajah terjadi pada tanggal 8 Ramadhan 1364 H.
Becermin pada semua kisah nyata di atas, tidak sepantasnya bila pada bulan suci ini kita bermalas-malasan, tidak produktif, dan banyak tidur karena puasa. Ramadhan sejatinya mampu memicu optimisme untuk meningkatkan semangat dan produktivitas kerja.
Karena pada bulan ini, kita mendapatkan suntikan energi batin yang luar biasa di samping kesehatan jasmani yang kian stabil. Tetapi, energi batin itulah sebenarnya yang lebih berperan memacu optimisme. Bahkan Jalaluddin Rumi mengatakan, “mata hati memiliki kemampuan 70 kali lebih besar untuk melihat kebenaran daripada dua mata jasmani (indera)”.
Optimisme bukan kepercayaan diri yang berlebihan tanpa kontrol. Bukan pula memaksakan jiwa dan menyiksanya dengan beban berat. Tetapi optimisme merupakan semangat lahir-batin untuk berupaya dan terus berusaha mendapatkan yang terbaik.
Optimisme, dengan begitu, menyingkirkan kesulitan untuk menggapai kemudahan. Mematahkan rasa malas, bosan, penat dan menggantikannya dengan semangat, keyakinan, dan harapan. Optimisme muncul karena janji Tuhan: “Sesungguhnya sesudah kesulitan (yang mendera) itu (akan datang) kemudahan” (QS. Alam Nasyrah/94: 5).
Dengan semangat Ramadhan, mari kita balut diri kita dengan optimisme dan etos kerja. Realisasikan setumpuk konsep menjadi karya yang bermanfaat. Tinggalkan kesan klasik, bahwa banyak tidur di bulan Ramadhan sebagai ibadah.
Padahal hadits Nabi SAW itu dimaksudkan bagi orang yang kelelahan setelah banyak bekerja dan beribadah. Nabi pernah mewanti-wanti kita dengan mengatakan: “Masalah yang paling aku takutkan terjadi pada umatku adalah besar perut atau hobi makan, terus-menerus tidur, kemalasan, dan lemah keyakinan” (HR. Daruquthni).
Jadi, masih pantaskah kita malas, banyak tidur, dan tidak bergairah karena puasa? Masihkah kita katakan banyak tidur sebagai ibadah?
Sebagai makhluk yang sempurna dan memiliki potensi tangguh, mestinya kita mampu melahirkan karya nyata. Puasa datang justru untuk melepaskan belenggu ketidakmungkinan dan ketidakbisaan. Terus menerus bekerja, mencoba, mengulangi kegagalan, dan berlatih adalah terapinya. Kendati kita gagal, tetapi terus mencoba. Bila gagal lagi, terus saja kita semangat untuk mencoba lagi. Setidak-tidaknya kegagalan itu lebih baik dari kegagalan sebelumnya.
Inilah motivasi Allah kepada manusia: “Bekerjalah kamu, maka Allah dan Rasul-Nya serta orang-orang mukmin akan melihat pekerjaanmu itu, dan kamu akan dikembalikan kepada Yang Mengetahui terhadap yang ghaib dan yang nyata, lalu diberitakan-Nya kepada kamu apa yang telah kamu kerjakan” (QS. al-Taubah/9: 105).
Saudaraku, mari kita jadikan hari ini lebih dari hari-hari yang telah berlalu. Dan kita mohon kepada Allah mulai hari ini hingga akhir hayat nanti, hari-hari yang kita jalani bertabur kebaikan dan perbaikan, harapan dan optimisme, bekerja dan beribadah.*