Oleh: Dr. Syamsul Yakin, MA
Dosen Pascasarjana FIDKOM UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
“Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan: ‘Tuhan kami adalah Allah’. Kemudian mereka meneguhkan pendirian mereka, maka malaikat akan turun kepada mereka (dengan mengatakan): ‘jangan kamu merasa takut dan jangan kamu merasa sedih; dan bergembiralah kamu dengan (memperoleh) surga yang telah dijanjikan Allah kepadamu” (QS. Fushshilat/41: 30).
Surga yang dijanjikan dalam ayat di atas adalah surga yang penuh kedamaian, tempat di mana Allah akan berikan segala yang diinginkan. Tidak hanya itu, seketika kita memasukinya Allah memberikan penghormatan, dengan salam kedamaian dan ketenteraman (QS.Yaasin/36:57-58.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Di antara sesama ahli surga tidak lagi terdengar ungkapan tercela dan perbuatan penuh dosa. Masing-masing menyuarakan kedamaian dan perdamaian (QS. al-Waqi’ah/56:25-26). Ya, itulah gambaran surga dan penghuniya yang diungkap Tuhan untuk dijadikan pelajaran bagi kaum beriman. Masalahnya, apakah surga bisa diraih hanya pada kehidupan setelah kematian? Bisakah kita menjadikan dunia sebagai surga, di mana penduduknya hidup dengan damai penuh ketenteraman?
Bisa. Karena Ramadhan masih beserta kita. Tentunya, kita maklum, Ramadhan adalah bulan penuh kemenangan. Kemenangan atas penaklukan kencenderungan buruk di dalam diri kita, baik yang ditimbulkan oleh mata, telinga, mulut, tangan, kaki, hidung, anggota badan dan segumpal darah yang bernama hati.
Di dalam hati ini terdapat berjuta penyakit, seperti cinta dunia dan takut mati, kecenderungan nafsu kebinatangan, lapar akan kekuasaan, dan terus-menerus menjadi budak ekonomi yang konsumtif dan hedonistik. Manusa model ini dalam suatu ayat pernah disindir Tuhan: “Maka pernahkah kamu melihat orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai Tuhannya dan Allah membiarkannya sesat berdasarkan ilmunya” (QS. al-Jaatsiyah/45: 23).
Dalam keadaan seperti ayat di atas datang pertolongan Ramadhan membawa rahmah (kasih sayang) dari Allah. Selama sepuluh hari pertama semua tabi’at buruk dan munkarot dibakar di dalam “kawah candradimuka’ Ramadhan.
Diharapkan setelah melewati sepertiga bagian dari bulan suci ini, setiap individu bertabur cinta, saling kasih, meninggikan derajat kemanusiaan yang hakiki, dan melerai simpul-simpul nafsiah yang sesat dan berlumur dosa. Rahmah (kasih sayang) menebar ke penjuru dunia, menghiasi hat-hati manusia. Hingga Allah dan para malaikat tak urung ikut menyayangi semua makhluk yang ada di bumi. Dunia jadi damai, penuh salam kedamaian dari para penghuninya, mirip suasana surga yang digambarkan al-Qur’an. Semua itu dikondisikan oleh puasa yang kini masih kita tunaikan.
Dalam sebuah wejangannya, Rasulullah SAW bersabda: “Mereka yang penyayang akan mendapatkan kasih sayang dari Allah Yang Maha Penyayang. Karena itu sayangilah mereka yang ada di bumi, maka yang ada di langit (yakni Allah dan para malaikat) akan menyayangimu” (HR. Abu Daud).
Selanjutnya, setelah melakukan pembakaran massal terhadap tabi’at buruk, pada sepuluh hari yang kedua Ramadhan datang mengabarkan janji Allah ihwal pengampunan bagi mereka yang kembali (bertobat). Inilah hidangan Ramadhan yang dinantikan setiap mereka yang beriman. Hidangan yang tidak sembarang orang mampu menikmatinya. Kecuali mereka yang telah sekuat daya menjadikan dunia penuh kedamaian, salam dan keselamatan. Mereka telah menjadikan dunia sebagai surga; dunia yang dirahmati Allah dan berlimpah maghfirah.
Saudaraku, sebenarnya bangsa dan negeri ini dahulu, pernah menjadi “surga”. Kitalah yang telah merubahnya menjadi “neraka” yang sempit melilit, akibat pengingkaran kepada-Nya.
Allah tegaskan, “Dan Allah telah membuat suatu perumpamaan (dengan) sebuah negeri yang dahulunya aman lagi tenteram, rezeki datang melimpah-ruah dari segenap penjuru, tetapi (penduduknya) mengingkari nikmat-nikmat Allah, karena itu Allah merasakan kepada mereka bencana kelaparan dan ketakutan disebabkan apa yang selalu mereka pebuat” (QS. al-Nahl/16:112).
Ramadhan masih bersama kita, kedamaian dan ketenteraman negeri seperti ayat di atas optimis bisa kita rengkuh. Syukur adalah kuncinya. Karena syukur selain akan memberikan kenikmatan yang bertambah-tambah juga akan membuat nikmat itu sendiri menjadi dikekalkan oleh Allah. Kedamaian dan ketenteraman bukan hanya sejarah suatu negeri, tetapi melingkupi umat saat ini.
Kedamaian di dunia merupakan episode pendahuluan memasuki ketenteraman surga. Setelah kita memperoleh rahmah, maghfirah, tiket selanjutnya untuk menjadikan dunia sebagai surga dengan berpuasa adalah melepaskan diri dari sentuhan api neraka. Kalau yang satu ini bisa diraih, sempurnalah: dunia ini benar-benar telah menjadi surga.
Tentunya, surga bagi hamba-hamba-Nya yang sabar dan tawakal, menapaki hari demi hari di bulan suci.*
