Oleh: Syamsul Yakin
Pengasuh Pondok Pesantren Darul Akhyar Parung Bingung Kota Depok
SiaranDepok.com – Dalam Nashaihul Ibad, Syaikh Nawawi menulis tentang empat tanda bahagia. Pertama, suka mengingat dosa. Kedua, suka melupakan kebaikan . Ketiga, dalam urusan agama, melihat kepada orang yang lebih tinggi. Keempat, dalam urusan dunia, melihat kepada orang yang lebih rendah.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Pertanyaannya, mengapa mengingat dosa jadi tanda bahagia? Secara psikologis, mengingat dosa dapat membuat orang menangis. Bagi kaum beriman, kebahagiaan didapat bukan saja ketika tertawa, tapi juga pada saat menangis. Mengingat dosa hingga menangis tak sembarang orang dapat melakukannya. Banyak orang yang ingat dosa, tapi tidak sampai membuatnya menangis. Begitu juga banyak orang yang menangis, tapi bukan karena ingat dosa. Kombinasi ingat dosa dan menangis inilah yang membuat rasa bahagia yang ditandai dengan rasa tenteram dan harapan segala dosa diampuni Allah.
Terkait dengan hal ini, Allah memberi informasi, “Dan (juga) orang-orang yang apabila mengerjakan perbuatan keji atau menganiaya diri sendiri, mereka ingat akan Allah, lalu memohon ampun terhadap dosa-dosa mereka dan siapa lagi yang dapat mengampuni dosa selain dari pada Allah? Dan mereka tidak meneruskan perbuatan kejinya itu, sedang mereka mengetahui” (QS. Ali Imran/3: 135). Yang dimaksud dengan ingat dalam ayat ini, bagi pengarang Tafsir Jalalain, adalah ingat terhadap ancaman Allah.
Baca Juga : Seorang Perempuan Terpeleset Kedalam Sumur – Siaran Depok
Berikutnya, mengapa melupakan kebaikan mendatangkan rasa bahagia? Jawabannya, bagi orang beriman berbuat baik itu membahagiakan. Kebahagiaan itu bukan terletak pada saat menerima saja, tapi pada saat memberi. Alasannya, pada saat orang beriman memberi, sejatinya dia merasa sedang menerima ridha-Nya dan meraih cinta-Nya. Allah menjanjikan, “Tidak ada balasan kebaikan kecuali kebaikan (pula)” (QS. al-Rahman/55: 60). Yang dimaksud dengan “kecuali kebaikan” bagi pengarang Tafsir Jalalain, adalah kenikmatan.
Untuk itu, dengan melupakan kebaikan yang satu, orang beriman termotivasi untuk melakukan kebaikan lainnya yang mendatangkan rasa bahagia yang lain.
Secara psikologis, melupakan kebaikan jadi tanda bahagia. Alasannya karena kebaikan yang dilakukan orang beriman tidak hendak diingat orang, dipuja orang, dan dibalas orang. Itu artinya, orang beriman berbuat baik tanpa beban pamrih, sehingga bahagia hatinya. Termasuk terbebas dari berharap kepada manusia. Terbebas dari berharap kepada manusia itu membahagiakan. Allah menjelaskan, “Dan hanya kepada Tuhanmulah hendaknya kamu berharap” (QS. al-Insyirah/94: 8). Dapat dibayangkan betapa sengsaranya seseorang yang terus mengingat kebaikannya agar orang lain membalas kebaikan yang dilakukannya. Padahal manusia cenderung melupakan kebaikan sesamanya.
Selanjutnya, tanda orang bahagia adalah orang yang dalam urusan agama, ia melihat yang lebih banyak amalnya. Karena kian banyak amal akan dibalas dengan lebih banyak pahala, seperti Allah janjikan, “Sesungguhnya Allah tidak menganiaya seseorang walaupun sebesar zarah, dan jika ada kebajikan sebesar zarah, niscaya Allah akan melipatgandakannya dan memberikan dari sisi-Nya pahala yang besar” (QS. al-Nisaa/4: 40).
Terakhir, tanda bahagia yang keempat dalam catatan Syaikh Nawawi di atas hanya dapat dilakukan oleh orang yang bersyukur. Inilah janji Allah kepada orang yang bersyukur, “Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih” (QS. Ibrahim/14: 7). Jadi pantas saja apabila dalam urusan dunia, orang beriman melihat orang yang lebih miskin darinya sebagai tanda syukur kepada Allah.*
