Oleh: Syamsul Yakin
Pengasuh Pondok Pesantren Darul Akhyar Parung Bingung Kota Depok
Tak lama lagi Ramadhan akan meninggalkan kita. Persis pada saat kepergiannya, kita disyariatkan melepasnya dengan kalimat takbir. Allah menegaskan:
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
“Dan hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, supaya kamu bersyukur” (QS. al-Baqarah/2: 185)
Saudaraku, pada saat bergema hebat di angkasa raya lantunan kalimat takbir, tahmid, dan tahlil dari segenap pelosok negeri melalui masjid, surau, dan musholla-musholla, kita semua tersimpuh dan menangis. Getaran kalimat suci tersebut menghunjam dada kita seakan menyatukan diri kita kepada Sang Maha Akbar, Allah SWT. Saat itu, haru bercampur bahagia meliputi kita semua.
Pada malam takbir tersebut, Nabi SAW mengajarkan kita untuk terus-menerus berzikir dan berkontempelasi. Takbir atau Allahu Akbar merupakan ekspresi keimanan seorang hamba yang mengakui ke-Maha-Besar-an Allah SWT. Dengan takbir, kita juga merasakan bahwa diri kita begitu kecil dan sangat lemah.
Selama ini kita sangat bergantung kepada-Nya. Bumi yang kita pijak, air yang kita minum, langit yang menurunkan hujan, tanah yang menumbuhkan pepohonan dan makanan, udara yang selalu kita hirup, dan ruh yang ditiupkan-Nya ke dalam raga kita adalah bukti kebesaran-Nya.
Malam takbir hendaknya juga dimaknai sebagai titik kemenangan kita mengalahkan dominasi setan di dalam diri. Termasuk memasung semua tabi’at buruk dan perbuat zalim yang biasa kita lakukan. Tetapi, mengapa justru pada malam takbir kita lebih suka kumpul di pasar, mal, atau pusat-pusat perbelanjaan lainnya? Kalau pun bertakbir, mengapa kita lebih suka berkeliling kampung, membuat gaduh, melintasi jalan raya seenaknya sehingga sering kali terjadi korban jiwa?
Saudaraku, itu tidak diajarkan agama. Itu hanya sebuah produk budaya. Dan, mengapa dalam masyarakat kita, produk budaya terasa lebih semarak ketimbang pengamalan agama?
Seringkali kita salah kaprah. Lebaran sepertinya menjadi tujuan inti, padahal esensinya adalah Idul Fitri. Takbiran, sekadar sarana atau syiar agama, sedangkan esensinya ada pada pengagungan Allah itu sendiri, yaitu takbir bukan takbiran. Termasuk, pada malam takbir, kita diminta Nabi untuk merenungi diri bukan justru menonton televisi sampai pagi.
Saudaraku, kapankah kita sungguh-sungguh menjalankan perintah agama? Kapankah kita bisa mengerti simbol dan esensi, paham produk budaya dan ajaran agama?
Kembali pada maksud ayat di atas, takbir merupakan ungkapan syukur atas petunjuk yang Allah berikan kepada kita. Seperti petunjuk menjadi orang beriman, sungguh-sungguh berpuasa, mendirikan tarawih, membaca al-Qur’an, bersedekah, berzakat, dan selalu condong pada kebaikan.
Setelah diminta takbir, pada ayat berikutnya Allah berjanji akan mengabulkan doa kita semua. Allah katakan:
“Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah) bahwa Aku adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa apabila ia memohon kepada-Ku…” (QS. al-Baqarah/2: 186).
Pada saatnya nanti, mari kita bertakbir dan memanjatkan doa. Begitu juga, kita syukuri kehadiran Idul Fitri tahun ini. Kehadirannya kita yakini bukanlah semata berdasarkan rotasi, perputaran bulan dan matahari. Melainkan harapan kita, menjadi juru selamat dan pembuka akal kita yang tumpul agar kita mampu keluar dari segala macam kesulitan dan kecurigaan di antara sesama anak bangsa, lantaran berebut kuasa.
