Hikmah Puasa Hari Ke-21
Oleh: Dr. Syamsul Yakin, MA
Pengasuh Pondok Pesantren Madinatul Qur’an Indonesia Kota Depok
dan Dosen Pascasarjana FIDKOM UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Rasulullah SAW mengajarkan kita dalam sabda beliau: “Perumpamaan seorang Muslim (dengan Muslim lainnya) dalam hal cinta kasih dan saling menyayangi bagaikan satu tubuh. Apabila (ada) salah satu bagian tubuhnya menderita (sakit), maka (akan dirasakan) oleh seluruh bagian tubuh lainnya dengan panas dan demam” (HR. Bukhari dan Muslim).
Hadits di atas kembali menagih makna puasa kita selama ini. Sudahkah puasa yang kita lakukan menimbulkan keinginan untuk mencintai dan menyayangi kaum dhuafa? Bila benar kita adalah bersaudara, tidakkah sebaiknya kita turut pula merasakan penderitaaan yang mereka rasakan selama ini.
Bahkan Nabi SAW berpesan agar kita tidak sekadar ikut merasakan penderitaan saudara kita. Lebih dari itu, kita harus memikirkan untuk mencari jalan keluar yang terbaik. “Bukan termasuk golonganku, kata Nabi SAW, mereka yang bangun di pagi hari, tetapi tidak memikirkan nasib kaum Muslimin”.
Penderitaan saudara kita itu bukan hanya menahan lapar. Dalam realita banyak mereka yang dizalimi, tertindas, dituduh berbuat makar, dan dirampas hak-haknya. Dan puasa yang disyariatkan kepada kita, bukan sekadar untuk membuat kita jadi iba, sedih, dan sekadar turut merasakan.
Allah mengingatkan: “Mengapa kamu tidak mau berperang di jalan Allah dan (membela) orang-orang yang tertindas (baik) laki-laki, perempuan, dan anak-anak”? (QS. al-Nisaa/4: 75). Puasa harus membuat kita berpihak kepada saudara kita yang menderita. Minimal, kita rendahkan tawa, sisihkan sedikit harta, dan memperbanyak doa.
Saudaraku, Nabi SAW merupakan sosok pribadi yang selalu gundah, manakala menyaksikan saudara-saudaranya menderita. Seringkali beliau terlihat bergaul dengan mereka yang menderita, kadang memeluk mereka. Kepada anak-anak yatim beliau tunjukkan kasih-sejatinya dengan memperbaiki sandal mereka. Di antara mereka yang kelaparan, Nabi SAW adalah orang yang paling merasakan lapar. Tetapi, Nabi menganggap kaum papa itulah yang telah membuat Allah memberikan rezeki.
Sabda beliau: “Tidaklah kalian memperoleh pertolongan dan rezeki (dari Allah) melainkan karena bantuan kaum dhuafa di antara kalian” (HR. Bukhari). Masihkah kita enggan membela saudara kita yang menderita yang karenanya kita mendapatkan rezeki dari Allah?
Begitu agungnya akhlak Nabi SAW, hingga al-Qur’an memuji beliau: “Sesungguhnya telah datang seorang Rasul dari kaummu sendiri, berat terasa olehnya penderitaanmu, sangat menginginkan keamanan dan keselamatan bagimu, amat belas kasihan lagi penyayang terhadap orang-orang mukmin” (QS. al-Taubah/ 9: 128).
Bila saat ini kita menolong saudara kita yang menderita, suatu saat Allah pun akan menolong kita. Marilah kita tolong mereka yang menderita. Mereka adalah saudara kita. Allah memberikan penegasan: “Sesungguhnya orang-orang mukmin itu bersaudara” (QS. al-Hujurat/49: 10).***
