Penulis : Ade Kamilah
Dakwah yang secara bahasa berasal dari isim masdar yang berbentuk fi’il دعا -يدعو – دعوة (yang artinya memanggil, mengajak, atau menyeru). Secara sederhana dakwah dapat didefinisikan sebagai seruan untuk untuk menjalankan perintah amar makruf nahi munkar. Dalam keabadian namanya di surah al-Ahzab ayat 22, kita mengenal Nabi Muhammad Saw. sebagai suri tauladan yang baik (maw’izatul al- hasanah) sebagai role model dalam menyampaikan dakwah. Kita bisa melihat dakwah nabi kala itu yang bermula secara sembunyi-sembunyi pada periode Mekkah hingga terang-terangan setelah hjrah ke Madinah. Sampai hari ini kita dapat menyaksikan dakwah Rasulullah juga para nabi dan rasul sebelumnya dengan menyebarnya cahaya Islam ke seluruh penjuru dunia.
Dewasa ini, dakwah tidak lagi diartikan secara sempit sebatas ceramah dan berpidato. Dakwah pada perjalanan panjang mubalighnya kini bisa bersanding sebagai ilmu, Ilmu Dakwah. Hal itu dikarenakan sudah bisa dijelaskan dari aspek ontologi, aksiologi, dan epitesmologinya. Dakwah disampaikan oleh seorang da’i dengan berinteraksi secara langsung kepada khalayak (mad’uw). Pemahaman yang mendalam terhadap makna narasi dan teks-teks agama diharuskan dimiliki oleh seorang da’i. Mubaligh yang menyampaikan risalah dakwah ini harus memiliki kecermatan, taktik, dan strategi agar dakwah dapat diterima tanpa paksaan. Karena semestinya dakwah menjadi kabar menggembirakan bagi orang-orang yang beriman.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Wajah Islam akan terbentuk sesuai pintu masuknya. Dan pintu masuknya Islam sesuai kepada mubalighnya. Mungkin kita pernah mendengar ungkapan demikian yang menandakan urgensinya bagaimana wajah Islam terbentuk. Dakwah bukan berarti menawarkan ayat-ayat tak terbantahkan yang bersifat memaksa. Walaupun hukum syariat mutlak seperti shalat, zakat, puasa, pernikahan, bahkan larangan meminum khamr tak bisa ditawar, ajarannya harus diserukan dengan baik dengan tidak memaksakan sehingga dakwah bisa menyentuh dan diterima dengan kerendahan hati.
Terdapat 3 metode dalam dakwah dari al-Quran yang dijabarkan oleh M. Quraisy Shihab dalam karya monumentalnya, Tafsir al-Misbah. Menurut QS. An-Nahl ayat 104, bila diringkas dakwah bil hikmah (seruan), maw’izatul al-hasanah (teladan yang baik), dan mujadilah (berdebat). Strategi dakwah ini diperlukan sebagai cara untuk menembus heteronitas masyarakatnya. Islam sebagai agama rahmatan lil’alamin tentu mempunyai karunia bagi seluruh semesta alam. Dengan segala keragamannya, dakwah menjadikan mereka kembali pada yang satu.
Karena dakwah menyesuaikan dengan berbagai aspek sosiologisnya, dakwah bisa menyesuaikan tanpa menambah atau mengurangi takaran syariat. Seperti kalangan cendikiawan akan lebih menerima dakwah dengan ajakan yang bisa diterima akal sehat mereka, cara ini menggunakan seruan bil hikmah. Lalu sebagian besar masyarakat yang masih awam dan belum memiliki pemahaman makna yang mendalam lebih membutuhkan maw’izatul al-hasanah untuk membimbing mereka secara perlahan, dan yang terakhir kalangan tengah di antara keduanya yang mencari kebenaran lewat berdebat (mujadilah). Berdebat yang dimaksud tidaklah untuk merasa lebih benar dari yang lain, namun mencari kebenaran itu sendiri dari keduanya. Harus dengan argumen berdasar yang kuat dengan tetap menjunjung adab lebih tinggi dari ilmu kebenaran yang dicari. Dilakukan semata-mata mencari kebenaran al-haq bulan lagi pembenaran diri. Wallahu’alam.
