Catatan Hari Film Nasional
Oleh : Khairullah Akhyari
-Penikmat Film Nasional-
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Darah dan Doa adalah judul film pertama yg resmi dibuat setelah Indonesia menjadi sebuah bangsa berdaulat. Film ini digarap oleh Perusahaan Film Nasional Indonesia (Perfini) dengan sutradara Usmar Ismail. Naskahnya merupakan karya penyair Sitor Situmorang.
Tanggal 30 Maret 1950, sebagai awal dimulainya pembuatan film ini kemudian ditetapkan sebagai hari Film Nasional oleh pemerintah. Dan Usmar Ismail dianugerahi gelar Bapak Film Nasional.
Ini merupakan salah satu keputusan konferensi kerja Dewan Film Indonesia dengan organisasi perfilman pada 11 Oktober 1962 adalah “Menetapkan hari shooting pertama dalam pembuatan film nasional yang pertama Darah dan Doa (The Long March ) sebagai Hari Film Indonesia.”
Meski 30 Maret (1950) telah dianggap sebagai Hari Film; serta Usmar Ismail (Perfini), di samping Djamaludin Malik (Persari), disepakati sebagai Bapak Perfilman Nasional, namun pengakuan resmi (pemerintah) baru terjadi pada 1999, setelah ditandatanganinya Keppres no 25/1999 oleh Presiden BJ Habibie
Film Darah dan Doa, juga sempat diusulkan utk diikutsertakan dalam festival film canes. Sayang, krn bbrp hal kemudian dibatalkan. Bbrp pengamat dan kritikus film masa itu menemukan banyak kekurangan dari film Darah dan Doa. Diantara yg disoroti adalah tentang penampilan para pemainnya yg blm maksimal dengan peran yg diberikan. Musik yg kurang sesuai situasi, serta posisi geografis lokasi cerita hampir tak pernah jelas karena tidak pernah dipaparkan secara gamblang.
Pesan Moral
Sampai saat ini, pesan yg terdapat dalam film Darah dan Doa masih sangat relevan. Darah mencerminkan semangat yang membara, kerja keras mewujudkan cita-cita, pengorbanan dan keberanian. Meskipun juga tidak bjsa dipungkiri, bahwa manusia memiliki sisi kemanusiaan dan kelemahan yg tidak bisa dielakkan. Dan itulah yg terjadi pada Kapten Sudarto dalam film ini. Ia adalah seorang pemimpin tentara yg tangguh dan disegani, tapi juga ternyata seorang anak manusia yg lemah yg jatuh bisa salah dan lupa.
Namun demikian, Kapten Sudarto adalah manusia Indonesia yg memiliki akar keyakinan yang kuat kepada Tuhan. Dalam keterbatasan dan kesadarannya dai kemudian mengingat Tuhan dan menyerahkan semuanya kepada-Nya.
Pada akhir film, sang kapten berpesan dengan terbata-bata, “Jangan diulangi lagi, biar aku saja.” seolah ia berbicara pada kita (penonton) sebelum ia jatuh mencium tanah. Pertumpahan sesama anak bangsa cukup disudahi momen ini saja dan tak perlu ada lagi. Namun, sejarah membuktikan pesan ini ternyata hanya angan-angan dan mimpi belaka.
Semoga dengan hari film nasional ke 71, yang hari ini kita peringati, akan lahir film-film bermutu dari para sineas di negeri kita. Film yang mengangkat nilai nilai luhur bangsa, film yang memperkenalkan budaya dan karakter mulia dari seluruh wilayah Indonesia. Film Indonesia juga diharapkan bisa menjadi perekat kebangsaan diantara aneka keragamaan yang ada di Indonesia.