Hikmah Puasa Hari Ke-12
Oleh: Dr. Syamsul Yakin, MA
Pengasuh Pondok Pesantren Madinatul Qur’an Indonesia Kota Depok
dan Dosen Pascasarjana FIDKOM UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Dalam sebuah hadits yang bersumber dari Abu Hurairah, Rasulullah SAW bersabda, “…Kalau ada orang yang mencaci maki atau mengajak berkelahi, katakan ‘aku sedang berpuasa” (HR. Bukhari dan Muslim). Pesan yang sarat makna ini kembali menggugah kesadaran kita bahwa Ramadhan merupakan sarana spiritual bagi setiap Muslim untuk melakukan pembongkaran tabiat buruk dan hawa nafsu yang membatu.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Nabi mengingatkan, sejatinya puasa bukan sekadar mampu menahan marah, tetapi akan menjadi lebih baik bila kemarahan itu tidak dibalas dengan kemarahan. Sebab kemarahan tidak bisa menyelesaikan masalah, malah semakin membuat keadaan semakin buruk. Menahan marah saat berpuasa dan mengelolanya menjadi kedamaian dan penuh maaf merupakan cermin pribadi bertakwa. Yakni, pribadi yang telah tercerahkan oleh ibadah puasa dan disukai Allah.
Dalam al-Qur’an pribadi yang disukai Allah terekam dengan indah: “Yaitu orang-orang yang menahan amarahnya dan memaafkan kesalahan orang lain. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan” (QS. Ali Imaran/3: 134).

Kita akui, tidak ada manusia yang mampu menghindarkan diri dari kemarahan. Kemarahan adalah sifat yang melekat dalam diri manusia yang merupakan anugerah Allah. Karena sebagai anugerah, pada batasan tertentu marah secara proporsional justru dibolehkan. Misalnya, kemarahan yang ditujukan untuk menghalau kian meluasnya kemaksiatan, kerusakan lingkungan, dan terancamnya keselamatan umat manusia. Tetapi, tetap saja kemarahan tersebut harus terkendali, tidak disertai hawa nafsu yang membawa kepada keburukan.
Allah berfirman: “Nafsu itu berkecenderungan untuk menyuruh kepada kejahatan, kecuali nafsu yang diberi rahmat” (QS. Yusuf/12: 53).
Selama ini marah kita kerap-kali tidak terkendali. Penyebabnya seringkali hanya karena masalah sepele. Kita lebih suka berteriak-teriak ketika terjebak macet, dan memaki-maki pengendara sepeda motor yang seenaknya memotong jalan kita. Saat antre lebih sering kita gundah, gelisah, lalu membuang marah; mengumpat perilaku masyarakat yang tidak disiplin, fasilitas pemerintah yang minim, atau buruknya pelayanan yang diberikan para pegawai dan pejabat publik.
Padahal kita sadar, marah kita saat itu tidak bisa membuat antrean lebih cepat atau seketika lalulintas jadi lancar. Pun kita mengerti, mengumpat pemerintah seperti itu tidak akan didengar dan yang pasti tidak serta-merta memunculkan perubahan dan perbaikan. Lalu, apa arti marah kita?
Mengenai menahan marah, kembali Nabi SAW menasehati kita, “Orang kuat bukanlah yang bisa menjatuhkan seseorang ke tanah, namun orang yang bisa mengendalikan diri ketika dia marah” (HR. Bukhari dan Muslim).
Hadits ini kian mempertegas bahwa kita tidak memiliki alasan pembenar untuk marah-marah. Kendati kita seorang yang kuat atau memiliki kekuasaan, sebagai pribadi yang sedang meniti jalan takwa, sebaiknya kita tidak merasa berhak untuk marah. Perkataan dan tegur sapa yang baik merupakan ekspresi tercantik untuk menyelesaikan masalah yang kita hadapi.
Saudaraku, jangan takut kita bakal kehilangan wibawa di hadapan isteri, anak-anak, dan masyarakat bila kita tidak berteriak-teriak, bersuara tinggi, dan marah-marah. Mereka justru menaruh simpati dan rasa hormat manakala kita membimbing mereka dengan bahasa yang indah dan teladan yang penuh rahmah.
Komunikasi semakin baik tanpa saling memendam kecurigaan bila segalanya kita dasarkan atas kebaikan dan penuh maaf. Bukankah marah Allah itu sendiri masih kalau hebat dengan rahmat-Nya? Sehingga kemarahan Allah itu tidak sampai membinasakan manusia yang penuh salah dan dosa. Saudaraku, masihkah kita berhak untuk marah-marah?
Saudaraku, dalam pendakian yang kian berat ini, marilah kita sempurnakan ibadah puasa kita dengan melepas semua perilaku buruk. Momentum Ramadhan sejatinya membuat kita menjadi kian sabar, kian halus tutur kata kita, kian sayang kepada sesama, dan kian terbuka mata hati kita dalam memahami Bahasa Ilahi. Mari kita jadikan Ramadhan sebagai wahana supremasi hati nurani terhadap segala macam tabiat buruk yang bergelanyut berat di dalam diri kita.
Inilah kabar gembira yang sampai kepada kita, seperti terurai indah dalam firman-Nya: “Dan Allah menyelamatkan orang-orang yang bertakwa karena kemenangan mereka, mereka tiada disentuh oleh keburukan (azab neraka) dan tidak pula mereka berduka cita” (QS. al-Zumar/39: 61).
Kita semua tengah menuju kemenangan yang dijanjikan itu. Bersabarlah, mari menahan marah saat puasa dan setelah bulan puasa. *
