Hikmah Puasa Hari Ke-29
Oleh: Dr. Syamsul Yakin, MA
Pengasuh Pondok Pesantren Madinatul Qur’an Indonesia Kota Depok
dan Dosen Pascasarjana FIDKOM UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Insya Allah besok kita berhari raya Idul Fitri. Selepas shalat Idul Fitri umat Islam di negeri ini saling mengunjungi dan memaafkan; anak kepada orangtua, cucu-cicit kepada kakek-nenek, adik kepada kakak, umat kepada ulama, hingga bawahan kepada atasan. Tidak hanya itu, halal bihalal pun digelar di berbagai tempat.
Lembaga swasta dan pemerintah, kantor, dan perusahaan menetapkannya sebagai ritual tahunan pasca-lebaran yang tidak boleh ditinggalkan. Para agamawan mengatakan, kendati halal bihalal hanya khas Indonesia, tetapi pengaruh positifnya begitu terasa, baik secara individual maupun komunal.
Secara individual, halal bihalal telah mendorong seseorang untuk mengakui kesalahan dan meminta maaf atas segala salah dan dosa. Kesediaan untuk meminta maaf ini pun kemudian diikuti dengan keikhlasan untuk memberi maaf.
Pribadi yang dengan tulus memafkan orang lain, merasakan hidupnya tanpa beban. Situasi batin yang selama ini diselimuti dendam dan sakit hati, berubah menjadi ketenteraman dan penuh keteduhan.
Inilah seruan Allah: “Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu dan kepada surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertakwa, yaitu orang-orang yang menafkahkan (hartanya), baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang yang menahan amarahnya, dan memaafkan (kesalahan) orang lain. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan” (QS. Ali Imran/3: 133-134).
Kalau kita cermati ayat di atas, cukup beralasan bila kaum Muslim bersemangat untuk mengadakan halal bihalal. Alasannya, untuk bisa meraih janji Allah berupa surga yang luasnya seluas langit dan bumi, mereka telah menebusnya dengan berpuasa, berderma, lalu berusaha untuk menahan diri dan mengelola marah.
Namun, tanpa saling memaafkan antarsesama, sesuai dengan ayat di atas, maka janji Allah tidak akan bisa diraih. Tentang pentingnya saling memaafkan ini kembali Allah menegaskan: “Jadilah pemaaf dan suruhlah orang mengerjakan yang makruf, serta berpalinglah dari orang-orang yang bodoh” (QS. al-A’raaf/7: 199).
Sedangkan secara komunal, halal bihalal seperti makna dasarnya, yakni mencairkan yang beku, melepas ikatan yang membelenggu, dan menyelesaikan kesulitan sangat penting untuk memperbaharui hubungan dan harmoni antarsesama.
Jadi halal bihalal merupakan ekspresi kerinduan manusia untuk saling menyayangi, mencairkan kebekuan, melepas belenggu, dan memperoleh kembali energi ruhaniah yang selama ini telah habis terkuras.
Tetapi ada yang harus kita perhatikan bahwa halal bihalal bukanlah tempat untuk memamerkan kekayaan, kemewahan, pangkat dan kedudukan, keberhasilan keluarga, termasuk keturunan. Sekiranya itu pernah terlintas dalam benak kita, cobalah kita hindari.
Kalau memang kita sudah berhasil, punya kedudukan, dan memiliki kekayaan sebaiknya kita bantu saudara-saudara kita. Datangi orang-orang yang tak mampu lagi bekerja, guru-guru kita dahulu, orang-orang tua, termasuk para ulama yang tetap konsisten mengajarkan agama di tengah kesulitan hidup yang mendera.
Termasuk, bantulah surau dan madrasah tempat di mana dahulu kita pernah tidur, bermain, belajar, dan menghabiskan masa remaja.
Bila ada keluarga kita yang anaknya putus sekolah cobalah bantu. Atau bila ada saudara yang punya kemampuan, tetapi belum terserap pasar kerja, berilah ia kesempatan mengembangkan diri untuk bekeja di perusahaan yang (rekanan) kita kelola.
Jadi, halal bihalal adalah ziarah spiritual yang berdimensi sosial. Tradisi lama yang penuh makna.***